Jakarta - Di tengah tekanan perekonomian global yang masih berlanjut, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,87% pada triwulan I tahun 2025. Capaian ini menjadi sorotan positif saat pertumbuhan ekonomi global justru direvisi turun oleh Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi 2,8% dalam laporan World Economic Outlook (WEO) edisi April 2025.
Kontribusi utama terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih didominasi oleh sektor industri pengolahan, yang menyumbang 19,25% terhadap PDB dan tumbuh sebesar 4,55% pada TW I-2025. Di antara subsektor unggulan, industri besi dan baja menunjukkan pertumbuhan signifikan. Ekspor komoditas ini naik rata-rata 22,18% dalam lima tahun terakhir. Konsumsi baja nasional pun terus meningkat dari 11,4 juta ton pada 2015 menjadi 17,4 juta ton di 2023, dan diperkirakan mencapai 18,3 juta ton tahun ini, bahkan ditargetkan menyentuh 47 juta ton pada 2035.
Hal ini menjadi perhatian utama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat membuka Iron Steel Summit & Exhibition Indonesia (ISSEI) 2025 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Rabu (21/5/2025).
“Perdagangan global memasuki masa sulit dengan adanya tarif struktural 25% untuk besi, baja, dan aluminium. Karena tarif ini berlaku global, kita harus menjaga daya saing kita,” ujar Airlangga.
Dalam kesempatan tersebut, Menko Airlangga juga menyaksikan penandatanganan Nota Kesepahaman ASEAN Iron & Steel Council yang diikuti oleh perwakilan dari enam negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Inisiatif ini bertujuan memperkuat kolaborasi kawasan dalam menghadapi dinamika industri global.
“Sudah saatnya ASEAN, sebagai salah satu produsen baja terbesar dunia, bersinergi memperkuat rantai pasokan regional. Baja Asia Tenggara harus mampu mencakup besi, aluminium, dan baja tahan karat sekaligus,” kata Airlangga.
Dengan populasi lebih dari 600 juta jiwa dan total ekonomi lebih dari USD3 triliun, kawasan ASEAN dinilai memiliki potensi besar untuk menjadi pasar utama bagi industri baja. Di tengah perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok, kerja sama regional dinilai krusial untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi kawasan Indo-Pasifik.
Menko Airlangga juga menyoroti tantangan global lainnya, seperti oversupply baja dari China yang berpotensi masuk ke Indonesia, serta kebijakan Uni Eropa seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang membebani ekspor baja dengan tarif berbasis emisi karbon.
“Kita harus siap hadapi itu. Strategi menuju produksi berkelanjutan dan ramah lingkungan adalah keharusan,” tegasnya, sembari menekankan pentingnya teknologi dalam efisiensi produksi.
Terkait proteksi pasar dalam negeri, pemerintah tengah melakukan peninjauan ulang terhadap regulasi anti-dumping terhadap produk oversupply. Airlangga menegaskan pentingnya memperkuat industri baja nasional melalui integrasi hulu-hilir, serta memprioritaskan pemakaian baja dalam negeri untuk menjaga stabilitas dan efisiensi.