Adian Napitupulu: 15 Tahun Negara Biarkan Pelanggaran Hukum soal Ojek Online

Kiki Apriyansyah | Selasa, 27 Mei 2025 - 17:11 WIB


Anggota Komisi V DPR RI Adian Napitupulu melontarkan kritik keras terhadap lambannya pembentukan regulasi untuk transportasi daring, khususnya ojek online. Adian menyebut negara telah membiarkan pelanggaran hukum selama 15 tahun dan menilai pemerintah serta DPR belum berpihak pada jutaan pengemudi ojol yang menanti kejelasan nasib.
Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Anggota Komisi V DPR RI Adian Napitupulu menyampaikan paparannya dalam diskusi dengan tema: “Efisiensi RUU Transportasi Online " di Ruang PPIP Gedung Nusantara I DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/5/2025).

Jakarta – Anggota Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu, melontarkan kritik tajam terhadap lambannya pemerintah dan parlemen dalam membentuk regulasi untuk sektor transportasi daring, khususnya ojek online. Dalam rapat bersama dan forum terbuka, Adian menyebut bahwa selama lebih dari satu dekade, negara telah membiarkan pelanggaran hukum berlangsung secara terbuka.

“Regulasi itu penting dan harus segera dibuat. Kenapa? Karena kita sudah melanggar hukum bersama-sama selama 15 tahun,” tegas Adian dalam diskusi  Koordinatoriat Wartawan Parlemen bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI menggelar Forum Legislasi dengan tema: “Efisiensi RUU Transportasi Online " di Ruang PPIP Gedung Nusantara I DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/5/2025).

 “Jangan ditunda-tunda lagi. Ojek online sudah ada sejak 2010. Sekarang sudah 2025. Berarti selama 15 tahun ada pelanggaran undang-undang yang dibiarkan, dan itu melibatkan pemerintah, DPR, serta para aplikator,” lanjutnya.

Adian juga mengkritisi klaim perusahaan aplikasi seperti Gojek dan Grab yang menyebut diri mereka pencipta lapangan kerja. Menurutnya, narasi itu perlu dikaji ulang secara jernih.

“Sebelum ada Gojek dan Grab, ojek pangkalan itu sudah ada. Mereka cuma menyuntikkan teknologi. Kita jangan sampai terbawa euforia dan menganggap mereka pahlawan,” ujarnya. “Kalau setiap RT di Jakarta saja ada 10 ojek pangkalan, maka kita bicara tentang ratusan ribu orang yang sudah ada sebelum aplikator masuk,” tambah Adian.

Dalam pernyataannya, Adian juga menyinggung soal pemotongan pendapatan driver online oleh aplikator yang menurutnya tidak transparan, khususnya terkait komponen potongan 5% yang disebut-sebut untuk tunjangan kesejahteraan driver.

“Siapa yang mempertanggungjawabkan potongan 5% itu? Sejak 2022, ke mana uangnya? Untuk apa? Kalau memang untuk asuransi, mana buktinya manfaat itu nyata buat driver?” tanya Adian.

Ia menyampaikan bahwa tuntutan para driver sangat sederhana: penghasilan yang layak agar bisa menyekolahkan anak, punya rumah yang layak, dan hidup secara manusiawi. Bukan kemewahan.

“Mereka enggak minta Mercy. Mereka cuma minta penghasilan yang cukup buat hidup. Dan itu saja negara belum bisa kasih,” kata Adian.

Adian juga mengungkap sejumlah kejanggalan dalam proses Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan perwakilan driver online. Salah satunya adalah soal penjadwalan yang berubah tiba-tiba.

“Tanggal 25 Mei, jam 18.30, kita dapat undangan resmi rapat kerja. Tapi keesokan harinya, jam 11.30, mendadak dibatalkan karena menterinya enggak datang. Padahal surat izin menteri ke Presiden sudah ada sejak tanggal 23,” ungkapnya. “Jangan bercanda dalam bernegara,” ucapnya keras.

Ia pun menuding ada aroma kepentingan ekonomi besar yang menghambat upaya perbaikan regulasi.

“Kalau potongan dari 15% ke 10% dilakukan, aplikator bisa kehilangan sepertiga pendapatannya. Wajar kalau mereka ngotot. Tapi negara harus berdiri untuk rakyat, bukan jadi humas perusahaan teknologi,” ujarnya.

Dengan nada menantang, Adian mengajak semua pihak termasuk aplikator dan pemerintah untuk berdiskusi terbuka dan transparan.

“Jangan ngumpet. Kalau mau debat data, ayo kita buka sama-sama. Jangan telepon saya diam-diam, kita bukan pacaran,” cetusnya.

Sebagai penutup, Adian menyerukan agar DPR memiliki keberanian politik untuk mengetuk palu pengesahan regulasi yang selama ini ditunggu-tunggu oleh jutaan pengemudi ojol di seluruh Indonesia.

“Minimal 20 juta jiwa bisa lebih sejahtera kalau regulasi ini diketok. Sekarang tinggal keberanian kita,” pungkasnya.

Baca Juga