JAKARTA – Peneliti Utama Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, menyoroti makin melemahnya hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah. Ia menyebut kewenangan daerah kini makin terkikis seiring munculnya berbagai regulasi baru.
Hal itu disampaikan Siti Zuhro dalam diskusi bertajuk “Hubungan Pusat dan Daerah: Optimalisasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah” di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
“Kita menyaksikan kewenangan daerah dalam mengelola SDA, SDM, hingga potensi ekonomi semakin dilucuti. Ini bukan hanya soal pemerintahan saat ini, tapi dimulai sejak masa Presiden sebelumnya dengan UU Minerba dan UU Cipta Kerja,” kata Siti Zuhro.
Ia menilai, relasi pusat dan daerah saat ini tidak dalam kerangka sinergis, tapi cenderung sentralistik. Bahkan menurutnya, tren ini bisa berbahaya jika terus berlanjut karena mengabaikan karakteristik dan kebutuhan lokal.
“Pola penyeragaman program pusat tanpa melihat kondisi daerah hanya akan menumpuk masalah. Negara kita bukan satu bentuk, tapi mozaik, NKRI ini unik,” ujarnya.
Siti juga menyoroti lemahnya pengawasan dan koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Menurutnya, banyak kewajiban pengawasan yang diamanahkan UU tidak dijalankan secara optimal.
“Pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap provinsi, dan oleh provinsi ke kabupaten/kota itu mandek. Tidak ada koordinasi, bahkan jarak dekat pun tidak jadi jaminan ada sinergi,” ucapnya.
Siti menyinggung peran inspektorat daerah yang belum profesional dan tidak cukup kuat menghentikan penyimpangan. Ia juga menilai OTT kepala daerah yang terus terjadi merupakan indikator lemahnya sistem pengawasan internal.
“OTT kepala daerah itu bukan prestasi KPK, tapi cermin buruknya pencegahan dan pengawasan. Seharusnya bisa dihentikan di awal kalau pengawasan birokrasi berjalan efektif,” tegasnya.
Terkait otonomi daerah, Siti menilai tujuannya belum sepenuhnya tercapai. Menurutnya, indikator seperti pelayanan publik, tata kelola pemerintahan, daya saing daerah, dan kesejahteraan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
“Dengan kondisi seperti ini, saya tidak terlalu optimis dengan arah desentralisasi kita. Justru kita kembali ke model sentralistik,” ujarnya.
Siti juga mengkritik pola komunikasi antara pusat dan daerah yang dinilainya minim. Bahkan menurutnya, program-program pusat yang dipaksakan tanpa koordinasi bisa memicu konflik dan ketidakpercayaan di level lokal.
“Kepala daerah bisa saja dimosi tidak percaya kalau hanya menjalankan program pusat yang tidak sesuai kebutuhan masyarakatnya,” katanya.
Lebih jauh, ia menilai kebijakan anggaran juga makin menyulitkan daerah. Banyak daerah mengeluhkan berkurangnya dana transfer karena urusan ditarik ke pusat, sementara beban pembangunan tetap di daerah.
“Kabinet makin besar, urusan ditarik, tapi anggaran ke daerah justru dipangkas. Ini memaksa kepala daerah naikkan pajak, dan itu picu gejolak seperti di Pati,” jelasnya.
Siti pun mengingatkan agar Kemendagri segera memetakan ulang kondisi daerah, mengingat masih banyak kabupaten/kota yang tertinggal. Ia juga mendorong agar kebijakan tidak disamaratakan.
“Kalau daerah maju disamakan dengan daerah 3T, jelas itu keliru. Kebutuhan mereka berbeda. Penyeragaman kebijakan hanya akan jadi bom waktu,” pungkasnya.