DPR, Komnas HAM, dan Media Sepakat: UU Perlindungan PRT Harus Disahkan Tahun Ini

Kiki Apriyansyah | Selasa, 16 September 2025 - 15:41 WIB


Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso mendesak agar RUU PPRT ini disahkan sebelum akhir tahun sebagai langkah konkret perlindungan terhadap lebih dari 5 juta PRT yang hingga kini belum memiliki payung hukum yang jelas.
Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso (kiri) dalam Forum Legislasi yang digelar di ruang PPID, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah terlalu lama tertunda. Ia menilai penundaan ini merupakan bentuk kelalaian negara dalam melindungi salah satu kelompok pekerja paling rentan di Indonesia.

"Undang-undang ini sudah dibahas sejak 2004, tapi tak kunjung disahkan. Jangan sampai periode ini berakhir tanpa kepastian hukum bagi para PRT. Jumlah mereka bisa mencapai 5 hingga 10 juta orang, dan mayoritas hidup tanpa perlindungan hukum yang layak," tegas Sugiat dalam Forum Legislasi yang digelar di ruang PPID, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Sugiat menyampaikan bahwa para pekerja rumah tangga (PRT) kerap menerima upah jauh di bawah upah minimum, bekerja hingga 24 jam sehari, bahkan harus siap bekerja kapan pun majikan memanggil. “Banyak dari mereka yang menjadi tulang punggung keluarga, tapi hidup tanpa jaminan kesehatan, waktu kerja yang manusiawi, apalagi jaminan hari tua,” ujarnya.

Lebih lanjut, Sugiat menilai pentingnya undang-undang ini sebagai bentuk perlindungan konstitusional terhadap hak-hak dasar PRT. Ia meminta agar semua pihak, termasuk Komnas HAM dan media, mendorong percepatan pengesahan RUU PPRT sebelum akhir tahun ini.

Anggota Baleg DPR RI Ledia Hanifa menambahkan, bahwa pembahasan RUU PPRT sebenarnya sudah dimulai sejak periode 2009-2014. Namun karena berbagai kendala administratif, termasuk pergantian periode DPR, pembahasannya harus diulang.

Menurutnya, masih banyak hal teknis yang perlu didefinisikan secara jelas dalam RUU, seperti siapa yang termasuk dalam kategori PRT, ruang lingkup pekerjaan rumah tangga, serta mekanisme kerja paruh waktu yang kini marak melalui aplikasi digital.

“Kita juga sedang membahas bagaimana menjamin hak-hak dasar seperti jaminan sosial, pelatihan keterampilan, hingga perlindungan dari praktik penyalur yang tidak etis,” kata Ledia.

Ia menekankan pentingnya pelatihan dan upgrading bagi para PRT, serta regulasi ketat terhadap penyalur tenaga kerja rumah tangga. “Sering kali, PRT dijanjikan gaji dan perlakuan yang layak, tapi realitasnya jauh dari itu. Penyalur bahkan bisa memotong gaji tanpa sepengetahuan pekerja,” tambahnya.

Wakil Ketua Komnas HAM, Putu Elvina juga menyoroti RUU PPRT dari sisi hak asasi manusia. Ia menyebut, pekerja rumah tangga yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak termasuk dalam kelompok masyarakat paling rentan.

“Mereka kerap bekerja tanpa jam kerja pasti, tanpa perjanjian kerja tertulis, dan tanpa jaminan sosial. Bahkan sebagian mengalami kekerasan atau eksploitasi yang tersembunyi di balik dinding rumah tangga,” ujar Putu.

Menurutnya, negara wajib hadir untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti bagi PRT, sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Ia juga menekankan bahwa RUU ini harus menjadi bagian dari strategi negara dalam menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

“Sering kali kita baru tahu kasus PRT saat sudah parah babak belur, melarikan diri dari majikan, atau mengalami pelecehan. Negara harus hadir sebelum itu terjadi,” ujarnya.

Ketiga narasumber sepakat bahwa pengesahan RUU PPRT tidak boleh lagi ditunda. Selain memberikan kepastian hukum bagi para PRT, regulasi ini juga akan memberikan kejelasan bagi pemberi kerja, termasuk dalam hal pengawasan terhadap biro penyalur, pelatihan, dan standar kerja yang manusiawi.

Komnas HAM berharap bahwa pengesahan RUU ini bisa menjadi “hadiah terbaik tahun 2025” dalam upaya penegakan HAM dan keadilan sosial di Indonesia.

Baca Juga