Jakarta - Dr. Rini Kusumaningrum, ahli lingkungan dari Universitas Gadjah Mada, menjelaskan bahwa masalah air bersih bukan hanya disebabkan oleh peningkatan kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk, tetapi juga minimnya pengelolaan sumber daya air.
"Di banyak kota, sumber mata air sudah tercemar limbah domestik dan industri. Penurunan muka tanah akibat eksploitasi air tanah berlebihan memperburuk situasi," ungkapnya.
Kondisi serupa dialami warga Bekasi. Siti Nurhayati, seorang ibu rumah tangga, mengungkapkan keluarganya harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli air galon karena air sumur bornya tak layak konsumsi.
"Air sumur kami keruh dan berbau. Setiap hari kami harus membeli air galon untuk minum dan memasak. Beban ini cukup berat, apalagi harga air galon semakin mahal," ucap Siti.
Pemerintah Kota Yogyakarta telah meluncurkan program “Smart Water Management” untuk mengatasi krisis air ini.
Andi Pranoto, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Yogyakarta menjelaskan, bahwa teknologi digital digunakan untuk memantau penggunaan air dan mengoptimalkan distribusinya.
"Kami juga mendorong warga menggunakan air secara bijak dan memaksimalkan penggunaan air hujan melalui teknologi rainwater harvesting," jelas Andi.
Namun, program ini belum menjangkau seluruh wilayah Yogyakarta, dan pemerhati lingkungan mendesak percepatan implementasi di daerah terdampak.
Yayasan Air untuk Hidup menekankan bahwa solusi krisis air bersih membutuhkan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Edukasi tentang konservasi air juga harus diprioritaskan.
Krisis ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga menyangkut keadilan sosial, di mana masyarakat berpenghasilan rendah seringkali menjadi kelompok yang paling menderita akibat minimnya akses air bersih.
Melalui langkah-langkah inovatif dan kolaborasi berbagai pihak, diharapkan krisis air bersih dapat diatasi sebelum dampaknya meluas. Upaya bersama melestarikan sumber daya air adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik.