Jakarta – Presidential Threshold yang menjadi syarat untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam perhelatan Pemilihan Presiden hanya menjadi penghambat perkembangan demokrasi di Indonesia.
Hal ini terlihat dari menganaktirikan warga negara nonparpol dalam iklim demokrasi di negeri ini. Sebab, Pasal 6 A Ayat 2 UUD 1945 secara eksplisit menegaskan hanya partai politik dan atau gabungan partai politik yang bisa mengajukan calon pasangan presiden.
Sementara anggota masyarakat nonpartai politik (parpol) yang punya kemampuan dan ingin memberikan dedikasinya untuk bangsa dan negara, seolah tidak diberi jalan.
“Warga negara yang nonparpol seperti digolongkan kelas dua. Dan haknya, menurut Pasal 6A Ayat 2 itu, hanya untuk memilih, bukan dipilih. Ada kesan kuat menganak-tirikan,” kata Ketua Kelompok DPD RI di MPR ini.
Dalam prinsip demokrasi, pembagian kelas tersebut jelas melanggar hak asasi manusia (HAM). Karenanya, ketentuan itu tidak adil dan melanggar konstitusi. Bahkan, sambung Tamsil, bisa disebut membajak demokrasi.
Di sinilah perlunya perubahan Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 itu. Minimal ketentuan presidential threshold (preshold) 20 persen yang kini lebih memungkinkan untuk diuji.
Karena itulah, Tamsil menegaskan pihaknya akan mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Desember ini untuk mendorong dihapusnya presidential threshold.
Perubahan PT menjadi krusial, agar terbuka atau dibuka kemungkinan bagi warga negara yang mumpuni atau punya kapasitas dan ingin berdedikasi untuk bangsa dan negara ini maju sebagai pasangan calon presiden-wakil presiden.
“Kita harus wujudkan Indonesia berkeadilan dengan menghapus presidential threshold atau jadikan presidential threshold 0 persen," tandasnya.