Senator Filep Menyoal Pemekaran Papua dalam Bingkai Keamanan

Yapto Prahasta Kesuma | Jumat, 04 Februari 2022 - 20:52 WIB


Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pemekaran Papua ialah faktor keamanan.
Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Senator Papua Barat, Filep Wamafma (kiri) di sela-sela rapat kerja dengan Mendagri Tito Karnavian.

Jakarta - Senator Papua Barat, Filep Wamafma mengutarakan pandangannya mengenai pemekaran wilayah Papua dalam kaitannya dengan aspek keamanan wilayah.

Sebagaimana diketahui pasca lahirnya UU Otsus jilid II, rencana pemekaran Provinsi Papua dan Papua Barat, termasuk Kabupaten/Kota, kini semakin menuju realisasinya.

Terdapat lima provinsi yang akan dibentuk di Papua, yang membawahi kabupaten/kota, yaitu Provinsi Papua (dengan sembilan kabupaten/kota yaitu Kota Jayapura, Jayapura, Keerom, Sarmi, Mamberamo Raya, Waropen, Kep. Yapen, Biak Numfor, Supiori).

Provinsi Papua Barat (dengan 13 kabupaten/kota yaitu Manokwari, Peg. Arfak, Manokwari Selatan, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Fakfak, Kaimana, Raja Ampat, Sorong, Sorong Selatan, Maybrat, Tambrauw, Kota Sorong).

Provinsi Papua Tengah (dengan enam kabupaten yaitu Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Mimika, Nabire).

Provinsi Papua Pegunungan Tengah (10 kabupaten yaitu Jayawijaya, Yahukimo, Yalimo, Tolikara, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Nduga, Puncak Jaya, Puncak, Peg. Bintang).

Dan Provinsi Papua Selatan (dengan empat kabupaten yaitu Merauke, Asmat, Mappi, Bovendigoel).

Senator Filep meninjau pemekaran daerah ini dengan melihat kembali pada aspek demografi Papua dan Papua Barat.

Dalam Sensus Penduduk tahun 2020, tercatat jumlah penduduk Provinsi Papua (29 kabupaten/kota) sebanyak 4.303.707 jiwa (BPS, 2020), sementara jumlah penduduk Provinsi Papua Barat (13 kabupaten/kota) adalah 1.134.068 jiwa.

Menurutnya, melalui pemekaran ini, komposisi jumlah penduduk pada masing-masing Daerah Otonom Baru (DOB) tersebut akan juga menyesuaikan jumlah penduduk kabupaten/kota yang ada. Hal ini juga akan berdampak pada APBD masing-masing DOB.

“Bila dimekarkan menjadi lima provinsi, maka persebaran penduduk dan jumlahnya menjadi berbeda. Mengikuti jumlah penduduk per kabupaten/kota yang dirilis BPS (2020), maka dapat diketahui bahwa Provinsi Papua (sembilan kabupaten/kota) berpenduduk 1.007.986 jiwa, Provinsi Papua Barat (13 kabupaten/kota) berpenduduk 1.134.068 jiwa, Provinsi Papua Tengah (enam kabupaten) berpenduduk 1.051.855 jiwa, Provinsi Papua Pegunungan Tengah (10 kabupaten) berpenduduk 1.727.090 jiwa, Provinsi Papua Selatan (empat kabupaten) berpenduduk 513.617 jiwa. Tentu saja jumlah penduduk yang demikian berdampak pada APBD masing-masing provinsi pemekaran,” jelas Filep Wamafma, Jumat (4/2).

Wakil Ketua I Komite I DPD RI ini menyampaikan, salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pemekaran Papua ialah faktor keamanan.

Menurutnya, sejak dulu wilayah Papua selalu penuh dengan konflik terkait keamanan. Wilayah-wilayah rawan konflik pun sering dipetakan oleh Kepolisian maupun TNI. Pemetaan ini biasanya berkaitan dengan momentum tertentu seperti Pilkada atau terkait TPNPB-OPM-KKB.

Terkait Pilkada, pada tahun 2020 Kepolisian memetakan lima daerah rawan konflik di Papua yaitu Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Nabire dan Kabupaten Keerom.

Sebelumnya pada 2018, TNI memetakan empat wilayah rawan konflik di Papua yaitu Puncak, Mimika, Mamberamo Tengah dan Jayawijaya.

“Belum lagi bila potensi konflik dikaitkan dengan TPNPB-OPM-KKB, yang akhir-akhir ini secara serius melawan tindakan militerisme dengan militerisme pula. Peristiwa terkini adalah gugurnya tiga prajurit TNI di Puncak akibat ditembak oleh KKB. Catatan atas peristiwa lainnya pun belum mendapatkan penyelesaian yang signifikan, karena selalu melalui gerakan militer. Lingkaran setan peperangan akan selalu terjadi,” ungkapnya.

Ia menuturkan, berbagai kerawanan di atas pada gilirannya akan mereproduksi kembali pendekatan keamanan di wilayah Papua, termasuk di dalamnya terkait pemekaran Papua.

Menurutnya, boleh jadi dengan alasan keamanan akan dapat dilakukan pembangunan Kepolisian Daerah (Polda) dan Komando Daerah Militer (Kodam) di tiga provinsi wilayah pemekaran selain Papua dan Papua Barat yaitu Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan Tengah, dan Provinsi Papua Selatan.

“Dari 34 Polda di Indonesia, ada dua Polda di Papua yaitu Polda Papua dan Polda Papua Barat. Dalam alur pikir yang sama, dari 15 Kodam di Indonesia, ada dua Kodam yang secara langsung bermarkas di Papua dan Papua Barat yaitu Kodam XVII/Cenderawasih dan Kodam XVIII/Kasuari.

Pertanyaannya ialah, apakah kelak dengan alasan keamanan, maka akan dibangun juga Kodam yang lain di Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan Tengah, dan Provinsi Papua Selatan? Dengan jumlah penduduk yang demikian, wajarkah bila pembangunan semacam itu dilakukan?” tanyanya.

Filep memaparkan, untuk Provinsi Papua Selatan dengan empat kabupaten yang berpenduduk 513.617 jiwa, bila didirikan Polda dengan jumlah Polisi sekitar 2000, ditambah Kodam dengan beberapa batalion, maka nuansa “militer” akan sangat terasa.

Kodam Kasuari di Papua Barat terdiri dari Batalion Infanteri 764/Iamba Baua Yonif 764/IB, Batalion Infanteri 761/Kibibor Akinting Yonif 761/KA, Batalion Infanteri Raider Khusus 762/Vira Yudha Sakti yang dulu bernama Batalion Infanteri 752 di Sorong, dan Batalion Zeni Tempur, di mana rata-rata satu batalion berjumlah 700-1000 personel.

“Dalam RAPBN 2022, anggaran untuk Kementerian Pertahanan terbilang sangat fantastis yaitu Rp. 133,9 T dan untuk Polri sebesar Rp. 111,02 T. Apakah maksimalisasi besarnya anggaran ini dapat dimanfaatkan untuk pembangunan Polda dan Kodam yang baru di provinsi pemekaran? Semuanya tergantung pola pendekatan yang digunakan,” ujarnya.

Menurut Filep Wamafma, pada umumnya penolakan dari berbagai elemen masyarakat kerap kali terjadi saat pemerintah mendahulukan pendekatan keamanan dan/atau militer di Tanah Papua.

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat, pada November 2021 menegaskan bahwa pendekatan keamanan tidak berhasil sehingga paradigmanya harus diubah.

“Dengan pemikiran ini, dapat dikatakan bahwa eskalasi konflik justru bisa meningkat bila pemekaran Papua dilakukan dengan pendekatan keamanan. Dengan jumlah penduduk yang sedikit oleh pemekaran, apakah pendekatan keamanan berhasil baik? Jangan sampai pendekatan tersebut hanya akan melahirkan ketakutan baru. Luka lama masyarakat Papua dan Papua Barat karena penyelesaian HAM yang terkatung-katung, akan semakin bertambah bila pendekatan keamanan didahulukan dalam pemekaran,” jelasnya.

Oleh karena itu, Filep Wamafma menekankan bahwa sudah sepantasnya apabila pemerintah memikirkan ulang apabila hendak menerapkan pola pendekatan keamanan dalam pemekaran.

Menurutnya, apabila Pemerintah percaya pada masyarakat Papua, maka keamanan akan tercipta karena sesungguhnya rasa aman itu dimulai dari kepercayaan pada orang lain.