Dorong Keadilan Restoratif, Menkumham Yasonna : Ada Lapas Melebihi Kapasitas 800 Persen

Yapto Prahasta Kesuma | Kamis, 13 April 2023 - 16:08 WIB

Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Menkumham Yasonna Laoly dalam Simposium Nasional 'Menuju Paradigma Baru Pemidanaan Indonesia', di Jakarta.

Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan bahwa hukuman penjara bukanlah satu-satunya upaya dalam penyelesaian pelanggaran hukum karena berujung pada jumlah tahanan yang melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas).

"Bisa dibayangkan sekarang existing 265 ribu, katakan 100 ribu saja ditambah tanpa program Covid-19, yang kita keluarkan sama dengan 365 ribu. Dengan kondisi sekarang saja kita sudah overkapasitas 94 persen rerata," kata Yasonna dalam Simposium Nasional 'Menuju Paradigma Baru Pemidanaan Indonesia', di Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat, Kamis (13/4).

Tercatat, penghuni di lapas saat ini mencapai 265.707, dari kapasitas sebesar 137.031.

Yasonna menjelaskan ada lapas yang melebihi kapasitasnya, bahkan mencapai 800 persen, di Lapas Kelas II Bagansiapiapi. Dia mengatakan lapas-lapas tersebut mengeluarkan biaya kurang lebih Rp 2 triliun.

"Kalau dilihat di kota-kota tertentu bahwa Bagansiapiapi 800 persen. Bireuen berapa ratus persen, di beberapa tempat beratus-ratus persen, ada yang 300 persen, mengeluarkan biaya negara lebih dari Rp 2 triliun lebih, hanya untuk bahan makanan dengan klas yang harga yang murah," ujarnya.

Oleh sebab itu, Yasonna mendorong agar proses penyelesaian perkara dilakukan lewat restorative justice. Dia mengatakan hal itu tertuang dalam KUHP baru yang akan berlaku pada 2026.

"Maka dalam konteks ini saya mengajak untuk sumbangsih berpikir, bagaimana kita, bagaimana filosofi yang sudah baik kita lahirkan dalam UU Pemasyarakatan, konsep restorative justice yang kita tuangkan di KUHP baru dapat kita terapkan dalam proses pemidanaan kepada anak-anak bangsa, yang oleh karena satu dan lain hal menjadi melakukan kejahatan," ungkapnya.

Lebih lanjut, Yasonna menyoroti setiap pelanggaran pidana yang selalu berujung pada pemenjaraan. Dia mengatakan, jika masyarakat terus mempertahankan prinsip tersebut, Indonesia akan terus tertinggal.

"Ini harus menjadi wake up call bagi setiap lini, karena berdasarkan data terakhir ini juga menjadi penting buat kita, karena kalau kita terus mempertahankan prinsip premium remedium bahwa pemidanaan itu adalah satu-satunya, maka kita tidak akan mampu berkejar-kejaran membangun lembaga pemasyarakatan, berkejar-kejaran membangun lapas dengan tingkat kejahatannya," ujar dia.

Yasonna mencontohkan di Amerika Serikat (AS), hukuman mati dilakukan dengan sangat keras, tetapi tidak menyurutkan angka kejahatan. Sebaliknya, dia mengatakan Eropa tidak menerapkan hukuman mati, tetapi lapas di Eropa tampak kosong.

"Di mana filosofi yang salah? Pendekatan yang salah? Maka ini menjadi penting buat kita secara bersama-sama. Terima kasih kepada para senior yang memberikan masukan-masukan berdasarkan pengalaman-pengalaman, negara tidak akan mampu mengatasi overkapasitas kalau filosofinya kita lakukan cara-cara seperti ini," tuturnya.