Perppu Corona Dinilai Menegakkan Hukum dengan Melanggar Hukum

Yapto Prahasta Kesuma | Kamis, 02 April 2020 - 14:08 WIB

Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Anggota Komisi Hukum DPR RI, M. Nasir Djamil.

Jakarta - Anggota Komisi Hukum DPR RI, M. Nasir Djamil menyayang Presiden Jokowi yang tidak teliti saat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020. 

Pasal 27 dalam Perppu yang mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona ini ternyata  memberikan keistimewaan kepada pejabat tertentu untuk kebal hukum. 

“Padahal hukum secara universal mengutamakan prinsip equality before the law atau setiap orang sama di hadapan  hukum,” kata Nasir melalui siaran persnya, Kamis, (2/4/2020). 

Nasir mengkritik ketentuan penutup Perppu yang  cenderung menjadi alasan pembenar dilakukannya tindakan yang berpotensi terjadi korupsi. 

Dalam Pasal  27 ayat 1 misalnya terkait biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah selama penanganan pandemi ini, termasuk di dalamnya kebijakan di bidang perpajakan, keuangan daerah, pemulihan ekonomi nasional bukanlah merupakan kerugian negara.

"Ada indikasi kalau Perppu ini dirancang dan dimanfaatkan untuk menyelamatkan orang-orang tertentu. Padahal biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi virus corona berasal dari pajak dan keringat rakyat. Ada kesan Perppu itu menegakkan hukum dengan melanggar hukum," ujarnya.

Politisi PKS ini pun heran kenapa ketentuan seperti itu bisa lolos dalam Perppu. Padahal dalam menjalankan kebijakannya, pejabat pemerintah diharuskan mengutamakan prinsip kehati-hatian. 

“Bagaimana mungkin ada ketentuan hukum yang sekaligus berfungsi sebagai hakim. Ketentuan ini bertentangan dengan Surat Edaran MA No 4 Tahun 2016 yang jelas menyebutkan bahwa BPK adalah satu-satunya institusi yang  menilai adanya kerugian negara dan besarannya,” kata Nasir.

Disamping itu, Pasal 59 ayat 1 UU Perbendaharaan Negara juga mengatur bahwa kerugian negara dapat terjadi karena kelalaian pejabat negara. Adanya pasal "kebal hukum" itu, tentu akan meloloskan pejabat yang terindikasi koruptif saat menerapkan kebijakannya dalam mengatasi pandemi virus corona.

“Ketentuan pada ayat 2 di dalam Perppu ini juga absurd karena ada kalimat  "tidak dapat dituntut maupun dipidana jika dalam melaksanakan tugas yang didasarkan pada iktikad baik". Ketentaun ini aneh tapi nyata. Pertanyaannya yang bisa menilai iktikad baik atau bukan itu tentu penegak hukum. Apakah itu sifatnya diskresi atas suatu tindakan yang bisa menyelamatkan bangsa, namun bukan berarti tidak bisa disentuh oleh hukum," pungkasnya. 

Nasir juga menyinggung UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang membatasi diskresi (atau tindakan) tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lainnya.

“Selain itu, saat ini juga sudah ada Pasal 2 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi yang  dilakukan dalam keadaan tertentu, dalam hal ini keadaan bahaya seperti bencana alam, ancaman hukumannya itu pidana mati. Jadi Perppu ini telah berfungsi seperti tembok besi yang menghalangi penerapan pasal hukuman mati itu,” kata Nasir. 

Keanehan lainnya, tambah politisi asal Aceh ini, ada di dalam ayat 3 Perppu tersebut, dimana keputusan yang diambil tidak bisa digugat dan menjadi objek TUN. Ketentuan jelas bertentangan dengan Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

“Dalam undang-undang itu dijelaskan apa yang dimaksud dengan keputusan tata usaha negara,” jelasnya.

Keputusan yang diambil terkait dengan pandemi virus corona pasti keputusan tata usaha negara yang bersifat konkrit , individual, dan final.

"Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Presiden, saya meminta agar ketentuan penutup dalam Perppu tersebut segera dikoreksi. Presiden harus waspada dengan ketentuan yang bersifat "jebakan batman" dan terkesan kebal hukum," tutup Nasir Djamil.