Jakarta - Gegap gempita menyambut Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun depan, sudah mulai terasa dinamikanya sejak jauh-jauh hari. Pengalaman buruk Pemilu 2019 harus dijadikan pelajaran untuk melahirkan Pemilu 2024 jauh lebih berkualitas.
Sehubungan itu Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (Ketum Ikal) Jenderal TNI Purn Agum Gumelar mengajak seluruh lapisan masyarakat, civil society dan tokoh politik untuk menyongsong Pileg dan Pilpres 2024 dengan penuh sukacita.
“Untuk berpartisipasi disertai kedewasaan dalam melaksanakan titah demokrasi berupa Pemilu tersebut, serta berpegang kepada hati-nurani dalam menentukan pilihan-pilihan politik. Terkait hal ini, kita di Tahun Politik, seyogyanya senantiasa berupaya untuk berfikir rasional dan tidak mudah dipengaruhi fakta-fakta yang belum tentu benar,” tambah Agum dalam acara Saran Kebangsaan Ketum Ikal, di Jakarta.
Sehubungan itu Agum minta agar semua pihak mementingkan ketertiban dan ketenteraman bersama sehingga tercipta suasana politik yang damai dan kondusif. Kita sudah seharusnya lebih bertanggung jawab dan menjunjung etika dalam menjalankan peran politik di tingkat mana pun. Sehingga, tidak tergoda untuk menciptakan dan turut menyebarluaskan informasi yang palsu, yang mampu merusak kententraman dalam bernegara dan berbangsa.
Agum juga menyerukan agar sema pihak untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta bersama-sama berkomitment untuk meletakkan kepentingan bangsa dan negara yang luas dan universal, di atas kepentingan pribadi, golongan, kelompok bahkan Partai politik.
Menurutnya, setiap elemen bangsa memiliki tugas menjadikan Pemilu 2024 lebih baik daripada Pemilu 2019. Diakuinya, Pemilu 2019 merupakan contoh pesta demokrasi yang jelek, oleh karena itu, Pemilu 2024 harus jauh lebih baik. Pemilu 2019 kita merasakan betapa prihatinnya karena terjadi polarisasi yang memicu perpecahan bangsa.
Masih tercetak jelas dalam ingatan setiap warga istilah cebong dan kampret yang disebut selama Pemilu 2019, bahkan hingga kini sulit menghilangkan istilah tersebut.
Waktu itu kita menyaksikan bagaimana berita bohong atau hoaks menjadi keseharian dinamika sosial-politik Indonesia. Memang Pemilu 2019, ditandai oleh kuatnya nuasa "Post-Truth". Dan hal ini akan bergeser ke arah yang lebih dahsyat dan menakutkan dengan mulai dipergunakannya kecerdasan buatan dalam pemberitaan politik di Pemilu 2024 yang akan datang. Tentu, dalam kaitan ini, kita melihat fenomena "Post-Truth" telah bermetamorfosis menjadi "Neo-Post-Truth".
Kini, menjelang Pemilu 2024, terutama Pilpres; ditandai terjadinya dinamika politik yang hangat dan penuh kejutan. Manuver partai-partai politik dan politisi, terkadang membuat publik tercengang dan bingung.
Menurut Agum, dinamika tersebut tentu mengandung potensi gesekan bahkan perpecahan yang dapat mengganggu stabilitas dan soliditas bangsa dan negara. Terlebih lagi, publik kita mayoritas tingkat pendidikannya relatif belum tinggi. Mereka masih belum pandai membaca kebohongan kabar, berita, dan informasi yang beredar. Mereka kebanyakan belum mampu mengembangkan kapasitas "reading lies, behind the lines".
"Suasana menakutkan, sangat mencemaskan dan mengkhawatirkan itu semua terjadi pada 2019, tapi Alhamdulillah kita bisa lalui itu bersama," kata Agum.
Mantan Gubernur Lemhannas itu pun menjelaskan, ada tiga unsur utama yang berperan dalam menghadirkan pemilu yang lebih baik. Pertama adalah partai politik mampu melahirkan kader-kader terbaiknya. Kedua adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menjadikan Pemilu 2024 lebih kondusif. Karena itu KPU harus lebih profesional, netral, dan tidak memihak. “Jangan ada lagi KPUD yang berpihak ke salah satu calon,” pinta Agum.
Unsur ketiga untuk membuat Pemilu 2024 lebih baik adalah rakyat yang menjadi pemilih. Menurutnya, semua pihak terutama Ikal dan Lemhannas punya kewajiban moral untuk mendewasakan para pemilih dalam Pemilu 2024.