Jika Terbukti Pungli Program Asimilasi Corona, Menteri Yasonna: Saya Pecat

Yapto Prahasta Kesuma | Kamis, 16 April 2020 - 15:50 WIB

Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.

Jakarta - Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly berjanji menindak tegas oknum yang melakukan pungutan liar (pungli) terhadap warga binaan pemasyarakatan terkait program asimilasi dan integrasi sesuai Peraturan Menkumham Nomor 10 Tahun 2020. Dia memastikan tak segan memberikan sanksi berat hingga pemecatan tidak hormat.

"Instruksi saya jelas, terbukti pungli saya pecat. Instruksi ini sudah saya sampaikan secara langsung lewat video conference kepada seluruh Kakanwil (kepala kantor wilayah), Kadivpas (kepala divisi pemasyarakatan), Kalapas (kepala lembaga pemasyarakatan), dan Karutan (kepala rumah tahanan)," kata Yasonna di Jakarta, Kamis, (16/4).

Yasonna meminta masyarakat berani melaporkan oknum nakal tersebut melalui berbagai saluran yang tersedia atau melalui jajaran di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk memudahkan proses penindakan. Dia menjamin data pelapor dirahasiakan.

Yasonna mengungkapkan Kemenkumham sudah melakukan investigasi dan menerjunkan tim ke daerah untuk menelusuri dugaan pungli tersebut. Namun, investigasi belum menemukan adanya pungli.

"Kalau ada yang tahu, tolong laporkan. Supaya mudah, silakan sampaikan lewat pesan di Instagram dan Facebook fan page saya," kata Yasonna.

Sebelumnya, Yasonna memberikan lima instruksi terkait pengeluaran warga binaan yang menjalani asimilasi dan integrasi. Pertama, tidak boleh ada pungutan liar karena prosesnya gratis.

Instruksi kedua, proses pengeluaran warga binaan asimilasi dan integrasi tidak boleh dipersulit. Mereka yang menjalani program ini adalah warga binaan yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman, tidak menjalani subsider, bukan napi korupsi, atau bandar narkoba, atau kasus terorisme, berkelakuan baik selama dalam tahanan, dan ada jaminan dari keluarga.

"Instruksi ketiga, memastikan warga binaan memiliki rumah asimilasi yang jelas untuk memudahkan pengawasan dan program berjalan dengan baik," papar Yasonna.

Instruksi keempat, seluruh warga binaan yang menjalani asimilasi dan integrasi tetap dibina dan diawasi berkala karena datanya lengkap hingga alamat tinggal. Pengawasan dilakukan dengan koordinasi Kepolisian serta Kejaksaan.

"Instruksi kelima, warga binaan harus diedukasi oleh petugas pemasyarakatan agar terhindar dari covid-19 (korona)," kata Yasonna.

Adapun alasan memberikan asimilasi dan integrasi pada warga binaan untuk menyelamatkan mereka dari ancaman penyebaran covid-19. Pasalnya, kondisi di dalam lapas dan rutan sudah kelebihan kapasitas sehingga sulit menerapkan protokoler pencegahan covid-19.

"Ini karena kemanusiaan. Tidak ada yang bisa menjamin covid-19 tidak masuk ke dalam lapas atau rutan, karena ada petugas yang punya aktivitas di luar dan kita tidak pernah tahu jika dia membawa virus itu ke dalam lapas," ungkap Yasonna.

Dia menegaskan kebijakan memberikan asimilasi dan integrasi pada warga binaan di lapas serta rutan over kapasitas juga dilakukan atas rekomendasi PBB untuk seluruh dunia. Selain Indonesia, negara-negara lain juga membebaskan napi untuk mencegah penyebaran covid-19 di dalam lapas.

Di antaranya Amerika Serikat, California membebaskan 3.500 napi, New York City membebaskan 900 napi, Haris County 1.000 napi, Los Angeles 600 napi, serta Federal 2.000 napi.

Kemudan Italia membebaskan 3.000 napi, Inggris & Wales membebaskan 4.000 napi, Iran membebaskan 85.000 napi dan 10.000 tahanan politik, Bahrain membebaskan 1.500 napi, Israel 500 napi, Yunani 15.000 napi, Polandia 10.000 napi, Brazil 34.000 napi, Afganistan 10.000 napi, Tunisia 1.420 napi, Kanada 1.000 napi, dan Prancis membebaskan lebih dari 5.000 napi.

"Sekali lagi, ini karena alasan kemanusiaan karena kondisi di dalam lapas dan rutan sudah sangat kelebihan kapasitas dan kondisi di dalam lapas akan sangat mengerikan jika tidak melakukan pencegahan penyebaran covid-19," tutur Yasonna.