Jakarta - Rencana rapat gabungan Komisi Hukum Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung (Kejagung), Polri dan Imigrasi Kementerian Hukum dan Hal Asasi Manusia (Kemenkumham) bahas kasus Djoko Tjandra terganjal kebijakan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. Pasalnya, Azis tidak mengizinkan rapat gabungan di gelar di masa reses DPR yang dimulai pada 13 Juli sampai 13 Agustus 2020.
Menanggapi hal itu, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Rahmat Muhajirin menyatakan anggota DPR tidak mengenal libur maupun cuti. Artinya, rapat yang digelar di masa reses untuk membahas hal tertentu di Baleg tidak menjadi masalah.
Namun, kata Rahmat ada hal lain yang lebih penting dibahas DPR ketimbang Kasus Djoko Tjandra saat ini. Menurutnya, tugas yang mendesak dibahas adalah RUU Cipta Kerja. Pasalnya, RUU ini sangat dibutuhkan untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19.
Hal ini menurutnya sudah sesuai dengan peraturan tata tertib (tatib) DPR dan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3).
Politikus Partai Gerindra ini menjelaskan, saat ini terdapat 37 RUU masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020. Sementara RUU yang sudah masuk ke tahap pembahasan tingkat I baru ada 10 RUU. Dengan demikian masih ada 27 RUU yang harus dibahas.
"Padahal dengan adanya pandemi dan dampaknya, pemerintah selesaikan jalan salah satunya melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Mungkin kejar RUU ini," kata Rahmat saat dihubungi wartawan, Kamis (23/7/2020).
Meski begitu, anggota komisi III DPR ini mengakubkasus Djoko Tjandra juga harus diselesaikan. Ditambah sudah ada komitmen dari Kapolri Jenderal Idham Azis yang memecat 3 jenderal bawahannya. Sementara untuk penanganan kasus Djoko, menurut Rahmat, pengawasannya tidak harus dengan RDP.
"Kita di Baleg punya kewenangan sendiri, kenapa harus dibicarakan di masa reses RUU Cipta Kerja. RUU ini sangat dibutuhkan sekali, untuk Indonesia masuk ke dalam kehidupan new normal. Artinya, UU ini sangat dibutuhkan segera," jelasnya.
Rahmat mengimbuhkan penyelesaian kasus Djoko Tjandra harus tetap berjalan secara transparan. Untuk itu, ia meminta komitmen penegak hukum untuk mampu mengatasi pria yang sudah buron selama 11 tahun itu.
"Kan penyelesaian kasus ini ada di penegak hukum, kita anggota dewan hanya punya fungsi pengawasan. Pengawasan tidak harus dengan RDP. RDP hanya salah satu bentuk," pungkasnya.