Jakarta - Anggota Komisi VIII DPR RI, I Ketut Kariyasa Adnyana, menyampaikan sejumlah catatan kritis dalam rapat kerja bersama Kementerian Sosial yang digelar di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
Salah satu sorotan utama Kariyasa adalah ketidakjelasan istilah dalam pengalokasian dana bantuan sosial sebesar Rp43 triliun. Ia mempertanyakan apakah dana tersebut benar-benar untuk bantuan sembako, atau justru untuk Program Keluarga Harapan (PKH). "Perlu diluruskan, apakah ini bantuan sembako atau bantuan pangan non-tunai," ujarnya.
Selain itu, Kariyasa menyoroti Program Sekolah Rakyat yang diinisiasi pemerintah. Ia mengingatkan bahwa hingga saat ini, belum ada persetujuan anggaran dari DPR, khususnya Komisi VIII, terkait program tersebut.
“Program Sekolah Rakyat akan banyak menghadapi tantangan. Membangun fasilitas pendidikan untuk masyarakat miskin tidak bisa dilakukan secara instan. Dibutuhkan perencanaan yang matang dan kesiapan anggaran,” kata politisi dari Fraksi PDI Perjuangan itu.
Ia mencontohkan pengalaman masa lalu, ketika program serupa dijalankan oleh pihak swasta seperti PT Sampoerna. Meskipun punya niat baik, proyek tersebut akhirnya diserahkan kepada pemerintah daerah karena keterbatasan sumber daya dan pembiayaan.
Kariyasa menekankan pentingnya keberlanjutan dan pemerataan dalam program Sekolah Rakyat. Dengan estimasi biaya operasional sekitar Rp48 juta per siswa per tahun, serta angka kemiskinan nasional yang masih sekitar 9%, ia menilai program ini membutuhkan regulasi yang kuat dan sinergi antarinstansi.
Dalam kesempatan itu, Kariyasa juga menyinggung kasus yang tengah ramai di media sosial, yakni penggusuran balai penyandang disabilitas di Bandung. Menurutnya, hal ini menjadi pengingat bahwa Kementerian Sosial tidak boleh abai terhadap kelompok rentan.
“Jangan hanya fokus pada bantuan tunai. Pendidikan adalah solusi jangka panjang untuk mengentaskan kemiskinan. DPR siap mendukung jika program ini dijalankan dengan serius dan sesuai regulasi,” pungkasnya.