Agun Gunanjar: Putusan MK Harus Direspons dengan Nalar, Bukan Emosi

Kiki Apriyansyah | Rabu, 06 Agustus 2025 - 15:37 WIB


Agun mengingatkan agar publik tidak terbawa emosi dan tetap menjunjung prinsip negara hukum serta supremasi konstitusi.
Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Wakil Ketua Badan Sosialisasi 4 Pilar MPR RI, Agun Gunanjar Sudarsa dan Pengamat politik Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim MS dalam diskusi bertema "Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi Pemilu", yang digelar di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

JAKARTA - Wakil Ketua Badan Sosialisasi 4 Pilar MPR RI, Agun Gunanjar Sudarsa, menegaskan pentingnya kesadaran kolektif dalam merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) secara rasional, terbuka, dan konstitusional. Hal ini ia sampaikan dalam diskusi bertema "Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi Pemilu", yang digelar di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Dalam forum tersebut, Agun mengawali paparannya dengan menyatakan kehadirannya bukan hanya sebagai legislator, tetapi juga sebagai salah satu perumus amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ia merasa memiliki tanggung jawab moral untuk meluruskan arah bernegara sesuai prinsip-prinsip dasar konstitusi.

“Kalau saya diam, saya salah. Saya hadir sebagai orang yang ikut merumuskan UUD. Apapun keputusannya, saya bertanggung jawab,” tegas Agun.

Menurut Agun, fenomena-fenomena hukum dan politik seperti putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah merupakan konsekuensi dari sistem ketatanegaraan terbuka yang dianut Indonesia saat ini. Ia meminta publik, termasuk politisi dan pengambil kebijakan, untuk tidak “baper” dan mampu menanggapi dinamika demokrasi dengan akal sehat.

“Hidup ini perjalanan. Kita tidak boleh emosional melihat satu putusan. Gunakan nalar, gunakan ilmu. Negara ini berdiri atas supremasi hukum dan konstitusi, bukan kekuasaan,” jelasnya.

Agun juga menekankan bahwa dalam sistem negara kesatuan berbentuk republik dan pemerintahan presidensial, desain konstitusi telah mengatur secara hierarkis antara Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, dengan kepala daerah yang menjalankan otonomi daerah. Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa kepala daerah tidak seharusnya dipilih bersamaan dalam rezim pemilu nasional.

“Pemilu itu memilih DPR, DPD, Presiden dan DPRD. Pilkada bukan bagian dari itu. Pilkada tetap demokratis, tapi dasarnya bukan pemilu nasional,” tegas Agun.

Sementara itu, pengamat politik Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim MS, menyampaikan kritik keras terhadap peran MK dalam membentuk norma hukum yang seharusnya menjadi domain legislatif. Ia menilai MK telah melampaui batas kewenangannya sebagai interpretator hukum dan justru berperan sebagai norm maker (pembuat norma)

“MK hari ini sudah seperti Sabdo Pandito Ratu. Keputusannya final, mengikat, tapi tidak ada mekanisme challenger. Ini tidak sehat dalam sistem demokrasi,” kata Abdul Hakim.

Ia menyoroti kurangnya keterlibatan aktor-aktor penting seperti DPR, Bawaslu, KPU, dan masyarakat sipil dalam pengambilan putusan penting seperti pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah. Menurutnya, keputusan strategis seperti itu seharusnya melalui diskusi panjang, bukan hanya berdasarkan masukan dari segelintir kelompok.

“Bayangkan, hanya karena masukan dari dua stakeholder, seluruh desain pemilu dirombak. Lalu bagaimana dengan DPR yang berisi 580 anggota dan proses panjangnya?” ujarnya.

Hakim menambahkan, keputusan MK yang berdampak pada rentang masa jabatan, seperti memperpanjang masa kerja DPRD akibat pemilu daerah yang digeser, dapat berimplikasi serius terhadap legitimasi demokrasi dan prinsip check and balance.

Baik Agun maupun Abdul Hakim sepakat bahwa keputusan MK harus dijadikan momentum untuk memperbaiki sistem hukum dan ketatanegaraan, bukan sekadar dipertentangkan di ruang publik. Agun bahkan menyarankan agar putusan MK tetap dihormati, namun ditindaklanjuti secara normatif oleh DPR dan pemerintah melalui penyusunan undang-undang yang konstitusional.

“Putusan itu bersifat final dan mengikat, iya. Tapi pelaksanaannya butuh kebijakan eksekutif dan legislatif. Di situlah pentingnya akal sehat dan diskursus publik,” pungkas Agun.

Baca Juga