Program CKG & Gizi Gratis Dinilai Strategis, DPR: Kunci Sukses Indonesia Emas 2045

Kiki Apriyansyah | Kamis, 07 Agustus 2025 - 15:31 WIB


Cellica Nurrachadiana menilai program Cek Kesehatan Gratis (CKG) dan Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan langkah strategis dalam membangun sumber daya manusia (SDM) unggul menuju Indonesia Emas 2045.
Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Cellica Nurrachadiana (kiri), Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Yanuar Arif Wibowo (tengah), dan Pengamat kebijakan publik dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UNKRIS, Dr. Ade Reza Hariyadi (kanan) saat memberi paparannya dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Cek Kesehatan Gratis (CKG) dan Gizi Gratis: Strategi Preventif Generasi Indonesia Emas” di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/8/2025).

JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Cellica Nurrachadiana, menilai program Cek Kesehatan Gratis (CKG) dan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto merupakan langkah penting dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) menuju Indonesia Emas 2045.

Hal itu disampaikan Cellica dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Cek Kesehatan Gratis (CKG) dan Gizi Gratis: Strategi Preventif Generasi Indonesia Emas” di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/8/2025).

“Dua mitra kerja Komisi IX terkait program ini adalah Kementerian Kesehatan dan Badan Gizi Nasional. Kita tahu bahwa Presiden Prabowo memiliki visi astacita, dan poin keempatnya menekankan pengembangan SDM dan kesetaraan gender,” kata Cellica.

Menurut Cellica, membangun fisik seperti jalan dan jembatan memang penting, tetapi membangun SDM membutuhkan waktu panjang dan komitmen lintas sektor.

“Cek kesehatan dan gizi gratis ini perlu kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah. Puskesmas, misalnya, ada di bawah kendali dinas kesehatan kabupaten/kota, sementara daerah ada di bawah Kementerian Dalam Negeri,” jelasnya.

Cellica menyebut program CKG saat ini baru menjangkau sekitar 16 juta anak dari total target 53 juta peserta didik. Ia juga menyoroti pentingnya tindak lanjut dari deteksi dini yang ditemukan dalam pemeriksaan kesehatan.

“Setelah dicek, harus ada tindakan kuratif dan rehabilitatif. Jangan berhenti di tahap cek saja,” tegasnya.

Sementara itu, terkait MBG, Cellica menyebut sasaran program ini mencakup anak-anak usia dini hingga remaja, termasuk ibu hamil dan balita non-PAUD. Ia berharap generasi mendatang tumbuh sehat, bebas stunting, dan cerdas.

“Kalau dua program ini dijalankan dengan baik, Indonesia bisa menyambut 2045 secara paripurna,” ucapnya.

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Yanuar Arif Wibowo, menambahkan bahwa kedua program ini menyasar generasi jangka panjang dan harus segera dikawal agar tidak terjebak pada isu-isu jangka pendek.

“Visi besar Presiden ini terinspirasi dari angka stunting yang masih tinggi. Kalau anak yang lahir hari ini dipenuhi gizinya, 20 tahun lagi mereka akan jadi generasi produktif,” kata Yanuar.

Yanuar juga menyinggung poin keenam dalam Astacita Prabowo, yaitu membangun dari desa. Menurutnya, masalah stunting dan kesehatan banyak ditemukan di desa akibat keterbatasan akses fasilitas kesehatan dan air bersih.

“Kontribusi stunting bukan cuma dari gizi, tapi 60 persen dari air bersih. Ini PR besar, karena masih banyak wilayah yang kesulitan air bersih saat kemarau,” katanya.

Ia berharap pemenuhan air bersih jadi perhatian serius. “Air ini fondasi utama. Kalau akses air saja mahal dan sulit, itu bisa mempengaruhi asupan gizi, kebersihan, bahkan kesehatan secara keseluruhan,” ujarnya.

Pengamat kebijakan publik dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UNKRIS, Dr. Ade Reza Hariyadi, menyebut ada tiga alasan mengapa program CKG dan MBG penting didukung.

“Pertama, ini sejalan dengan visi ideologis negara untuk hadir dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat, yakni kesehatan dan pangan,” ujarnya.

Kedua, lanjutnya, program ini adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa karena menyasar generasi muda.

Ketiga, Ade melihat adanya pergeseran paradigma dari pembangunan infrastruktur fisik ke pembangunan manusia.

Namun demikian, Ade menilai implementasi program ini masih perlu pembenahan, terutama dalam transformasi visi politik presiden menjadi kebijakan teknokratis.

“Political planning cenderung populis. Saat diubah ke teknokratis, kita perlu memikirkan anggaran, daya tahan fiskal, hingga efektivitas tata kelola,” jelasnya.

Ia juga mencontohkan negara seperti Brasil yang melibatkan petani lokal dan satuan pendidikan dalam penyediaan bahan pangan untuk program makan siang sekolah.

“Kalau bisa, 30% bahan pangan berasal dari petani lokal. Selain meningkatkan partisipasi, ini juga menggerakkan ekonomi daerah,” ujarnya.

Ade juga mengusulkan agar program ini dibarengi kurikulum pendidikan terkait gizi dan sanitasi, sebagai intervensi perilaku untuk pencegahan stunting yang tidak hanya terjadi di desa, tapi juga kota.

“Stunting bukan hanya soal gizi, tapi juga budaya dan perilaku. Bahkan keluarga mampu pun bisa punya anak stunting kalau tidak sadar pentingnya kebersihan, sanitasi, dan pola makan sehat,” pungkasnya.

Baca Juga