JAKARTA - Pemeriksaan terhadap mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Idianto, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membuka babak baru dalam pengusutan dugaan korupsi proyek jalan di Sumut. Bukan hanya soal angka kerugian negara, kasus ini mengindikasikan persoalan laten dalam tata kelola proyek infrastruktur daerah dan potensi kompromi integritas di internal aparat penegak hukum.
Idianto, yang kini menjabat sebagai Sekretaris Badan Pemulihan Aset di Kejaksaan Agung, diperiksa sebagai saksi dalam pengembangan kasus pasca operasi tangkap tangan (OTT) yang lebih dulu menyeret lima tersangka. Pemeriksaan dilakukan di Gedung Kejagung dan menjadi sorotan karena menyentuh kalangan elit jaksa sendiri.
“Penyidik mendalami keterangan terkait dengan perkara proyek pembangunan dan preservasi jalan di Sumut,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangan tertulis, Rabu (20/8/2025).
Namun, pemeriksaan ini tidak berdiri sendiri. Di baliknya, terdapat sinyal koordinasi yang jarang tersorot: sinergi aktif antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam mengurai dua ranah berbeda pidana dan etik. Satu sisi menelusuri jejak uang haram, sisi lain menelisik integritas aparatur.
Apa yang terjadi dalam proyek jalan di Sumut tampaknya bukan sekadar permainan pengadaan biasa. Dengan infrastruktur sebagai lahan basah yang berulang kali menjadi sarang korupsi, dugaan keterlibatan jaksa daerah menambah dimensi persoalan: apakah sistem pengawasan internal masih berfungsi? Atau, justru menjadi bagian dari masalah?
“Kami memeriksa secara simultan. KPK fokus ke pidananya, Kejagung melalui Jamwas menyisir dari sisi etik. Ini bentuk nyata sinergi antar-APH,” ujar Budi.
Selain Idianto, dua jaksa dari Kejaksaan Negeri Mandailing Natal juga ikut diperiksa: Muhammad Iqbal dan Gomgoman Haloman Simbolon. Mereka diduga mengetahui bahkan terlibat dalam praktik yang membuat proyek pembangunan jalan justru menjadi ladang korupsi berjemaah.
OTT memang menjadi pintu masuk, tapi kini KPK tampaknya membidik lebih dalam: relasi kuasa, pengaruh, dan potensi sistematisnya. Pemeriksaan terhadap mantan Kajati menunjukkan arah penyelidikan yang tak lagi berhenti pada operator lapangan. Ini soal siapa yang tahu, siapa yang membiarkan, dan siapa yang mendapat keuntungan.
Publik patut mencermati bagaimana penegak hukum menguji dirinya sendiri sebuah proses yang selama ini kerap tertahan di ruang rapat etik, bukan di meja penyidikan.
Jika sinergi antar-APH ini terus berjalan, bukan tak mungkin kasus ini bisa menjadi preseden penting: bahwa pembersihan lembaga tidak hanya berhenti pada pelaku, tapi juga menyentuh sistem yang melindungi mereka.