JAKARTA – Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Andreas Hugo Pareira, menegaskan bahwa pembahasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) kembali menjadi prioritas MPR RI periode 2024–2029. Hal ini disampaikannya dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertema “Implementasi Pidato Presiden Saat Sidang MPR RI Tahun 2025” yang digelar di Ruang PPIP Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Andreas menjelaskan bahwa pembahasan PPHN telah diselesaikan pada masa sidang pertama dan dilaporkan kepada Pimpinan MPR saat Sidang Tahunan MPR. Selanjutnya, keputusan ada di tangan pimpinan MPR, apakah akan dibentuk Panitia Ad Hoc guna membahas lebih lanjut mengenai substansi dan bentuk hukum PPHN tersebut.
“PPHN menyangkut dua hal penting: pertama, substansi haluannya, dan kedua, bentuk hukumnya. Apakah melalui amandemen UUD, TAP MPR, atau undang-undang?” ujar Andreas.
Ia menyoroti bahwa sejak reformasi, haluan negara tak lagi menjadi bagian sistem ketatanegaraan, digantikan oleh visi dan misi Presiden. Maka, jika PPHN ingin dihadirkan kembali, harus ada kejelasan hukum dan legitimasi konstitusional agar tidak menimbulkan tumpang tindih dengan RPJPN atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Menanggapi pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR, Andreas menyebutkan bahwa sejumlah poin yang disampaikan Presiden cukup baik, terutama terkait komitmen untuk menjaga agar kekayaan alam Indonesia tidak terus mengalir ke luar negeri.
“Kita punya SDA, SDM, tapi kalau semuanya tidak dimanfaatkan di dalam negeri dan keuntungannya justru disimpan di luar, ya kita dapat apa?,” ujar Andreas.
Ia juga mengapresiasi pidato Presiden terkait upaya pemberantasan korupsi, serta dorongan agar pembangunan tidak hanya dijalankan dengan semangat, tetapi juga dengan ketepatan implementasi kebijakan.
Namun, Andreas menyoroti adanya jarak antara optimisme pidato Presiden dengan realita di lapangan. Ia mencontohkan, meski disebut ada surplus beras 4 juta ton, harga beras di masyarakat tetap tinggi. Ia juga menyoroti program makan bergizi gratis untuk 82,9 juta siswa sebagai inisiatif positif, tetapi implementasinya perlu pengawasan ketat.
“Jangan sampai Presiden menyampaikan hal-hal baik, tetapi pelaksanaannya tidak sesuai di lapangan. Ini yang jadi PR besar,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota MPR RI Fraksi PKS, Riyono, menanggapi pidato Presiden dengan mencermati sisi anggaran dan implementasi. Ia menilai, alokasi anggaran pangan sebesar Rp164,5 triliun adalah langkah positif, tetapi masih jauh dari ideal jika Indonesia ingin berdaulat pangan secara utuh.
“Kalau kita ingin kedaulatan pangan, minimal 10% dari APBN, artinya sekitar Rp370 triliun. Anggaran saat ini baru sekitar 0,18% untuk sektor pertanian luas, termasuk perikanan dan kehutanan,” ujarnya.
Riyono mengungkapkan bahwa distribusi program seperti bantuan pangan SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) belum optimal. Ia menyoroti fakta bahwa bantuan yang seharusnya disalurkan enam kali dalam setahun, hingga Agustus 2025 baru dilaksanakan dua kali.
“Masyarakat bilang harga beras tetap mahal, meski katanya kita surplus. Di lapangan beras masih Rp13 ribu lebih per kilogram,” katanya.
Ia juga menekankan perlunya reformasi kelembagaan seperti memperkuat peran Bulog dan Badan Pangan Nasional, serta perlunya BUMN pangan yang mampu menjadi pemain dominan di pasar dalam negeri, bukan sekadar operator.
“97% pasar pangan dikuasai swasta. Kalau negara tidak ambil peran strategis, ketahanan pangan sulit dicapai,” tegasnya.
Riyono berharap revisi Undang-Undang Pangan yang tengah dibahas Komisi IV DPR dapat selesai tahun ini, agar arah kebijakan pangan nasional menjadi lebih terstruktur dari hulu ke hilir, dan mampu menciptakan ekosistem pangan yang berdaulat dan berkelanjutan.