RUU Hak Cipta Disorot, Willy Aditya: Polemik Royalti Musik Harus Akhiri Kegaduhan

Kiki Apriyansyah | Selasa, 26 Agustus 2025 - 16:00 WIB


Willy Aditya menegaskan RUU Hak Cipta harus menjadi solusi atas polemik penarikan royalti musik yang selama ini menuai kontroversi. Ia menilai persoalan royalti tidak hanya berkaitan dengan aspek komersial, tetapi juga menyangkut fungsi sosial, budaya, dan keadilan bagi para pencipta karya.
Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya dan Anggota komisi X DPR RI Ahmad Dhani

JAKARTA – Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hak Cipta harus mampu menjawab polemik penarikan royalti, khususnya di bidang musik. Ia menilai polemik yang selama ini terjadi bukan sekadar soal komersialisasi, melainkan juga menyangkut aspek sosial, budaya, dan keadilan.

“Setidak-tidaknya masalah aktual terkait hak cipta itu bukan hanya musik semata. Dalam rapat konsultasi DPR dengan pemangku kepentingan kemarin, khususnya di bidang musik, sudah ada beberapa hal yang diputuskan, salah satunya audit terhadap Lembaga Manajemen Kolektif (LMK),” kata Willy dalam diskusi legislasi bertema “Akhiri Polemik Royalti, RUU Hak Cipta Menjadi Solusi” di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/8/2025).

Menurut Willy, penarikan royalti nantinya akan dipusatkan ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) agar lebih akuntabel. Ia menilai praktik sejumlah LMK yang menagih ke pelaku usaha kecil, seperti warung makan yang hanya memutar musik, merupakan bentuk penyimpangan dari fungsi sosial hak cipta.

“Kalau ada warung Indomie pasang musik lalu ditagih royalti, itu sesat pikir. Musik bukan sekadar aspek komersial, tapi juga punya fungsi sosial, publik, dan kebudayaan untuk memajukan peradaban,” tegas Willy.

Ia menambahkan, RUU Hak Cipta harus dibangun dengan tiga landasan utama, yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dengan demikian, keadilan bagi para pencipta dapat diwujudkan tanpa menimbulkan “rente baru” dari praktik penarikan royalti.

Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Gerindra, Ahmad Dhani, menyoroti praktik lama yang selama ini merugikan para pencipta lagu. Ia menyebut interpretasi aturan sebelumnya, termasuk Permen 56, tidak pernah secara jelas melibatkan event organizer (EO) sebagai pihak pengguna karya musik.

“Selama 10 tahun para pengarang lagu tidak mendapatkan haknya karena tafsir undang-undang tidak tepat. Pemerintah harus hati-hati menafsirkan kata demi kata dalam RUU ini agar tidak lagi merugikan pencipta,” kata Dhani.

Menurutnya, potensi kerugian bagi pencipta lagu mencapai ratusan miliar rupiah selama satu dekade terakhir akibat tidak adanya mekanisme penarikan royalti yang jelas dari penyelenggaraan konser maupun penjualan tiket.

Baik Willy maupun Dhani sepakat bahwa revisi undang-undang diperlukan agar masalah royalti musik tidak lagi menimbulkan kegaduhan di masyarakat, sekaligus memastikan para pencipta mendapatkan haknya secara adil dan transparan.

Baca Juga