Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Suharyanto mengingatkan masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) untuk menjadikan pengalaman gempa besar 2009 sebagai pelajaran berharga yang harus diwariskan kepada generasi muda. Menurutnya, bencana, khususnya gempa bumi, bukanlah kejadian mendadak, melainkan siklus berulang yang dapat diprediksi.
“Gempa Sumbar itu siklusnya antara 50 sampai 100 tahun. Bagi yang pernah mengalami gempa besar di 2009, penting untuk menurunkan pengetahuan kepada anak cucu agar dampaknya tidak sebesar dulu,” ujar Suharyanto dalam Konferensi Internasional Manajemen dan Mitigasi Bencana di Universitas Andalas (Unand), Senin (29/9/2025).
Ia menekankan tiga hal utama dalam menghadapi ancaman bencana. Pertama, respon darurat harus dilakukan secara kolektif. Suharyanto mencontohkan penanganan gempa 2009 yang masih banyak kekurangan meski didukung TNI/Polri, SAR, dan masyarakat. Kekurangan itu, katanya, kini menjadi catatan penting untuk perbaikan sistem kebencanaan nasional.
Kedua, kekuatan bangunan. Data BNPB mencatat gempa 2009 merusak 135 ribu bangunan dan menewaskan 1.117 orang, sebagian besar karena tertimpa reruntuhan. Pascaperistiwa itu, pemerintah membangun 100 ribu rumah tahan gempa. Ia juga menyoroti gempa Cianjur 2022 yang berakibat 90 ribu rumah rusak, termasuk 37 persen bangunan sekolah. “Ini bukti betapa mendesaknya pembangunan rumah dan fasilitas publik tahan gempa,” tegasnya.
Ketiga, percepatan bantuan pascabencana. Suharyanto mengingatkan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah selalu menjadi korban sosial terberat setiap gempa. Karena itu, distribusi bantuan harus dipercepat dan diperluas agar pemulihan berjalan lebih merata.
Ia menutup pesannya dengan penekanan bahwa kesiapsiagaan bukan hanya urusan pemerintah, tetapi juga tanggung jawab generasi ke generasi. “Warisan paling berharga bagi anak cucu kita adalah pengetahuan bagaimana menyelamatkan diri dan bertahan ketika bencana datang,” kata Suharyanto.