Jakarta - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai kebijakan Pemerintah dalam membangun industri hilirisasi yang dituangkan dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sudah tepat.
Sebab, di dalam undang-undang tersebut diamanatkan agar tidak lagi melakukan ekspor bahan mentah.
Namun menurut Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey, di dalam membangun industri hilirisasi harus didukung dengan beberapa faktor, diantaranya power plan, infrastruktur jalan, sosial masyarakat setempat dan perizinan.
“Itu memang sudah langkah yang tepat, Pemerintah maksa, kita kan harus sedikit dipaksa gitu ya, membangun industri hilirisasi. Tapi kembali lagi, industri hilirisasi sebenarnya harus disiapkan yang lebih dahulu itu adalah industri hulu nya. Apakah industri hulu ini sudah berjalan sesuai kaidahnya? Sesuai good mining practice? Sudah sesuai aturan? Bagaimana dampak lingkungannya, sosial masyarakatnya, itu harus dipikirkan dahulu. Karena berulang-ulang kami sampaikan industri apapun itu, akan berdiri sempurna dengan adanya supply chain yang baik,” kata Meidy saat berbincang-bincang dengan FIVE di kantornya.
Selain itu, Meidy juga melihat saat ini Pemerintah sedang berusaha membuat segala sesuatunya dimudahkan dalam hal perizinan.
“Tapi dengan adanya punishment yah, ada kewajiban. Nah kewajiban itu kalau bicara pertambangan bagaimana kita menciptakan good mining practice, lebih ke arah apa? Mengedepankan unsur lingkungan dan bagaimana dengan ekonomi masyarakat sekitarnya,” kata Meidy.
Ia juga mempertanyakan sering terjadinya demonstrasi di industri hilirisasi di saat Pemerintah sedang mengencarkan program hilirisasi pertambangan mineral. Termasuk juga keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA).
“Kenapa sih di industri hilirisasi ini demo lagi demo lagi. Saya tidak menyingung masalah TKA, karena TKA itu kan seharusnya adalah TKA yang orang ahli. Kita ngerti kok bahwa kita ini juga belum ahli-ahli banget teknologi yang baru ini, kita butuh orang ahlinya untuk meng operate mesin-mesin di industri hilir. Tapi kan apakah iya semua yang datang orang ahli ? Jadi kembali lagi bagaimana aturan ini dipertegas. Tegas itu maksudnya dengan sanksi-sanksi yang ada,” ujarnya.
Banyak hal yang disampaikan Meidy termasuk juga mengenai tata kelola dan regulasi pertambangan serta keberpihakannya agar sumber daya alam (SDA) di Tanah Air cukup dikuasi Indonesia saja, bukan investor asing. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana Anda melihat peluang bisnis nikel di masa mendatang, dimana Indonesia merupakan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia ?
Kita cukup bangga ya, bahwa dengan adanya Paris Agreement terkait renewable energy, kita akan meninggalkan energi fosil, gasoline, kita akan meninggalkan mobil-mobil yang pakai bensin. Berarti yang diuntungkan siapa? Kita dong ya kan. Jadi kalau sombongnya kita bilang ‘dunia butuh kami loh,’ logikanya begitu kan. Kita sumber terbesar untuk renewable energy yaitu baterai yang diolah melalui beberapa tahapan, nikel mangan kobalt atau nikel aluminium kobalt. Nah, bahan baku terbesar ini kan cukup memegang peranan penting, satu kita berbicara dalam renewable energy nya, dua kita berbicara lapisan ozon nya. Dan kalau berbicara ke ekonomisannya nih, ‘situ yang butuh kita loh ya.’ Ini kan barang yang Tuhan kasih di Indonesia yang harus diolah sebaik mungkin.
Kalau berbicara ke depan bagaimana ?
Otomatis demand akan meningkat, otomatis industri nikel ini betul-betul jadi sorotan dunia. Tapi kita harus siap dulu, siapnya dari mana? Ini kalau katakanlah sebuah pohon, yang perlu disiram itu akar, bukan batang dan daunnya. Kalau akarnya diberi pupuk yang baik, di siram yang baik, buah dan bunganya pasti akan bagus. Kalau industri ini industri hulunya kan pertambangan, akarnya kan di tambang, di bahan baku utamanya. Artinya ya pertambangan nikel itu yang harus betul-betul diperbaiki dulu.
Diperbaiki seperti apa ?
Tata kelola, aturan regulasi yang mendukung untuk pertambangan Indonesia. Punishment benar-benar punishment untuk tambang-tambang yang illegal, yang merusak lingkungan, yang tidak memperhatikan sosial masyarakat sekitarnya. Harus betul-betul dibuat satu kajian, satu aturan. Jadi walau kita memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, tapi kalau tidak dikelola dengan baik, habis juga. Enggak ada ujungnya, enggak ada hasilnya.
Komitmen APNI sendiri bagaimana terkait tata kelola industri nikel yang baik ?
Kami berjuang untuk betul-betul mengatur tata kelola nikel yang baik, yang berjalan sesuai aturan, yang memperhatikan good mining practice dan yang paling utama bagaimana sumber daya alam khususnya nikel, saya rasa untuk semua mineral Indonesia, itu betul-betul dikuasai oleh lokal, oleh Indonesia, bukan dikuasi asing.
Bukankan boleh pengusaha asing menguasai perusahaan tambang di Indonesia ?
Ya walaupun aturannya asing boleh menguasai tambang di Indonesia maksimal 49 persen, tapi boleh enggak itu dihilangin? Atau bagaimana caranya Pemerintah itu hanya membolehkan investor asing masuk di industri hilir saja, di pengolahannya saja. Jadi di tambang itu betul-betul dikuasi Indonesia saja, oleh merah putih. Jangan beri kesempatan kepada asing untuk menguasai sumber daya alam kita.
Kenapa ?
Karena suatu saat akan habis. Contoh ini saya kasih kamu rumah, kamu tinggal ya, setelah kontrak rumahnya habis, dia tinggal saja dan rumahnya sudah rusak. Dia tidak punya kewajiban dan tidak punya hati nurani memperbaiki karena itu bukan rumahnya dia. Tapi kalau kita? Kita kan tinggal disini, apa iya kita tega dan mau memberikan warisan kepada anak cucu kita lingkungan yang hancur. Ingat loh, nikel itu mengandung racun. Kalau tidak dikelola dengan baik dampak ke depannya berbahaya. Air laut nanti bisa tercemar dan kalau tercemar berarti kita mengasih makan racun kepada anak cucu kita. Kita harus melihat efek ke depannya, bukan saat ini.
Guna menghindari konflik ketidakadilan harga antara penambang dan pembeli yang merupakan perusahaan smelter nikel di dalam negeri, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No.11 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam. Komentar Anda ?
Kami patuhi aturan itu karena secara tidak langsung menguntungkan kalau kita mengikuti Harga Patokan Mineral (HPM). Tapi pada pelaksanaannya kan kontrak-kontrak yang diberikan, kalau kami bilang tidak ada yang mengikuti HPM.
Kok bisa ?
Karena kami tidak punya pilihan. Kasarnya ‘kamu mau supply boleh, kalau tidak ya sudah.’ Karena kan sampai saat ini masih terjadi over supply berdasarkan kebutuhan demand nya smelter dengan kapasitas produksi pertambangan, itu kan masih timpang, jadi si pembeli suka-sukanya saja. Suka-suka dalam hal ‘ya sudah saya nyaman dengan kamu, saya beli sama kamu, kalau kamu mau syukur enggak mau ya sudah, saya pindah ke supplyer berikutnya.’
Di provinsi mana saja yang banyak cadangan kandungan nikel nya ?
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, ada juga di Papua Barat dan Papua. Kita punya 11 provinsi penghasil nikel tapi semua terfokus di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah maupun Maluku Utara. Kalau Sulawesi Selatan kan hanya satu kabupaten dimana berdirinya Vale Indonesia disitu, di Sorowako.
Bukan tidak mungkin nanti akan berdiri kota-kota industri dunia ya disana ?
Iya, siap apa enggak ? market nya sudah ada, demand nya sudah ada, dunia ikut mendukung, alam ikut mendukung, sumber dayanya ikut mendukung. Kesiapannya ada apa enggak? Sehingga bagaimana kita membuat kemudahan-kemudahan berinvestasi yang isunya Indonesia resiko tertinggi berinvestasi itu bisa kita balikan. Kemudian yang paling penting lagi adalah industri hilir tidak akan tertunjang, terkelola dengan baik dan sempurna tanpa adanya pengaturan yang jelas, terarah, terpadu dari industri hulu.