Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Saya Ingin Negara Ini Punya Arah yang Jelas

Yapto Eko Prahasta | Selasa, 19 Maret 2024 - 19:08 WIB

Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Jakarta - Bangsa Indonesia pernah beberapa kali melakukan amandemen konstitusi setelah kemerdekaan. Pada era Reformasi tahun 1998, teks UUD 1945 mengalami empat kali amandemen atau perubahan.

Pertama dilakukan pada Sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober tahun 1999. Kedua pada Sidang Tahunan MPR tanggal 7-18 Agustus tahun 2000. Ketiga pada Sidang Tahunan MPR tanggal 1-9 November tahun 2001. Dan keempat pada Sidang Tahunan MPR tanggal 1-11 Agustus tahun 2002.

Namun, paska reformasi tersebut, perubahan UUD 1945 di tahun 1999-2002 justru melahirkan pro kontra. Bahkan, hingga hari ini, pro dan kontra atas perubahan UUD 1945 masih terus berlangsung. Suara-suara yang menginginkan UUD 1945 kembali ke Naskah Asli melihat bahwa amandemen dilakukan secara serampangan.

Ini dibuktikan hampir 97 persen dalam UUD 1945 diubah. Angka 97 persen diartikan sebagai bukan amandemen, tapi mengganti UUD 1945 dengan UUD yang baru bernama UUD 2002. Bagi AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, selaku Ketua DPD RI, keberadaan UUD 2002 harus dikoreksi dengan kembali ke Naskah Asli UUD 1945.

“Amandemen UUD 1945 menghasilkan UUD 2002 yang didalamnya menghilangkan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi. Konsekuensinya, Pancasila sudah tidak digunakan lagi dalam berbangsa dan bernegara,” katanya kepada Majalah FIVE.

Untuk mengetahui lebih jauh, berikut petikan wawancaranya:

Apa yang melatarbelakangi Bapak menggulirkan wacana amandemen UUD 1945 kembali ke Naskah Asli ?

Saya mengikuti masalah ini sudah lama. Sejak turunnya Soeharto dari jabatan Presiden muncul desakan agar UUD 1945 di amandemen. Alasannya UUD 1945 bukan kitab suci yang tak bisa diutak-atik. Ini bisa dipahami dalam konteks pada masa itu sebagai bagian agenda reformasi, yakni pembatasan kekuasaan dan masa jabatan presiden. Dalam perkembangannya, amandemen yang dilakukan malah makin jauh dari rumusan pendiri bangsa.

Maksudnya ?

Amandemen UUD 1945 menghasilkan UUD 2002 yang didalamnya menghilangkan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi. Konsekuensinya, Pancasila sudah tidak digunakan lagi dalam berbangsa dan bernegara. Bisa diartikan Indonesia sebagai negara proklamasi sudah bubar sejak tahun 2002. Penggantian konstitusi yang dilakukan di tahun 1999-2002 telah memenuhi unsur-unsur pembubaran negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Dimana nilai perjanjian luhur bangsa Indonesia dan nilai Proklamasi sebagai suatu kelahiran baru suatu negara sudah ditiadakan. Juga dokumen nasional yang mengandung suatu perjanjian luhur bangsa, sebagai identitas nasional dan lambang persatuan sudah dihilangkan.

Berangkat dari dipisahkan ideologinya dan meninggalkan Pancasila sebagai philosopische grondslag atau pandangan hidup bangsa Indonesia dan staatsfundamentalnorm, norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi, menjadikan persoalan bangsa semakin kompleks karena ketidakadilan dan kemiskinan struktural terjadi.

Dalam sebuah fase perjalanan bangsa, Pancasila pernah begitu represif terhadap rakyat. Bagaimana Bapak menanggapinya?

Sebagai sebuah bangsa, harus diakui kita pernah melewati suatu periode yang dirasakan sangat sentralistik. Perbedaan sikap dan pandangan terhadap suatu masalah dinihilkan dan kebenaran itu hanya datang dari Pemerintah. Kondisinya mirip dengan negara negara sosialis totaliter. Semangat reformasi ingin mengoreksi ‘orang-orang’ yang membelokkan Pancasila untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya.

Mengoreksi silahkan, tapi bukan berarti mengamputasi Pancasila. Sementara peluang pemanfaatan itu justru tidak dikoreksi dan dibiarkan terbuka. Ini sama saja meninggalkan bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Dalam perdebatan yang muncul, Pancasila dianggap tidak bisa menjawab persoalan yang terjadi dalam masyarakat?

Kita mengakui itu terjadi dan itu yang harus diperbaiki. Dikoreksi. Sekali lagi bukan diamputasi. Justru diperkuat dengan membuat aturan terkait perilaku orang-orang yang diberikan amanah untuk berkuasa agar tidak menyimpang atau menyalahgunakan kekuasaannnya. Amandemen UUD 1945 tahun 2002 tidak lagi berdasar pada Pancasila. Karena sekitar 97 persen pasal yang diubah dalam amandemen tersebut.

Kita mengartikannya sebagai amandemen tapi kenyataannya mengganti UUD yang baru bernama UUD 2002. UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002 tidak dijiwai Proklamasi 17 Agustus 1945. Sehingga konstitusi Indonesia kini sudah kehilangan identitas proklamasi, kehilangan identitas rakyat Indonesia dan kehilangan ciri khas bangsa Indonesia. Pemberlakuan UUD 2002 juga mengartikan suatu pembubaran negara proklamasi yang dimerdekakan 17 Agustus 1945.

Bagaimana dengan posisi MPR ?

Dalam konteks ketatanegaraan paska UUD 2002, posisi MPR yang semula lembaga tertinggi menjadi sederajat dengan Presiden. Hal-hal terkait adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Presiden bukan lagi ranah MPR, tapi Mahkamah Konstitusi. MPR baru bisa menjadi hakim saat memutuskan Presiden bersalah atau tidak berdasarkan rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi. Padahal MPR merupakan representasi dari rakyat Indonesia.

Jika sebelumnya ada agenda sidang tahunan MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden sebagai mandataris. Sehingga dimungkinkan adanya pertanyaan, kritik bahkan menolak pertanggung jawaban presiden.

Jadi posisi MPR hanya seremonial saja ?

Dalam UUD Tahun 2002 sidang tahunan MPR hanya seremonial saja. MPR hanya mendengarkan pidato Presiden soal apa saja yang telah dikerjakannya selama satu tahun. Tidak ada koreksi, sanggahan, apalagi menolak.

Kenapa ?

Karena di bagian paling atas sudah diamputasi, maka kebawahnya makin tidak jelas, baik di sistim politik, sistem ekonomi, sistem sosial hukum dan budaya. Karena tidak ada lagi yang bisa mengontrol Presiden. Pertanyaannya, siapa yang bisa mengontrol Presiden? Ada tidak lembaganya. Karena peran MPR sebagai satu-satunya lembaga tertinggi sudah dilucuti.

Kondisi ini yang membuat Bapak mendorong kembalinya UUD 1945 ke Naskah Asli ?

Saya ingin negara ini punya arah yang jelas, kemana tujuannya. Tujuannya itu ada di Pancasila yakni tegaknya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, musyawarah, persamaan dan pemerataaan. Bukan sebaliknya, praktik politik yang liberalistik, pembiaran terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi, ketidakadilan dalam penegakkan hukum.