Jakarta - Di balik kerja-kerja sunyi membangun hunian layak bagi jutaan warga Indonesia, berdiri sosok Fitrah Nur, yang dilantik sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Kawasan Permukiman Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) pada 20 Januari 2025.
Ia bukan orang baru di bidang perumahan dan permukiman, sebelumnya ia menjabat sebagai Direktur Rumah Umum dan Komersial (RUK) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (sekarang Kementerian Pekerjaan Umum-red), dan selama itu pula ia dikenal sebagai figur yang menggabungkan keteguhan teknis dengan sensitivitas sosial.
Lulusan Teknik Sipil Universitas Andalas angkatan 1985 ini telah merancang dan mengawal banyak program skala nasional yang menyentuh kehidupan masyarakat kecil, dari kampung-kampung nelayan di pesisir timur Indonesia hingga perbatasan di Kalimantan dan Papua.
Baginya, membangun kawasan permukiman bukan sekadar proyek fisik, tetapi menyusun masa depan: bagaimana manusia tinggal, tumbuh, dan hidup berdampingan dengan lingkungannya. Di tengah tantangan urbanisasi yang makin kompleks dan disparitas antarwilayah yang masih tinggi, Fitrah membawa pendekatan pembangunan yang inklusif dan kolaboratif.
Ia percaya bahwa kebijakan yang adil hanya lahir dari kedekatan dengan akar rumput, dan bahwa keadilan spasial harus diwujudkan melalui intervensi nyata di wilayah-wilayah yang selama ini tertinggal.
Dalam wawancara dengan Majalah FIVE, Fitrah Nur menguraikan strategi dan inovasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Kawasan Permukiman dalam memastikan tidak ada warga Indonesia yang tertinggal dari agenda besar pembangunan. Berikut petikan wawancaranya:
Dalam konteks pemerataan pembangunan, apa strategi untuk memastikan bahwa daerah tertinggal, perbatasan, dan pulau-pulau kecil mendapatkan perhatian yang setara?
Kami menerapkan pendekatan afirmatif terhadap wilayah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan kecil. Melalui program peningkatan kualitas permukiman kumuh dan sanitasi, serta integrasi dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) Peningkatan Permukiman Kumuh Terintegrasi (PPKT). Kami juga memastikan pembangunan tidak hanya terpusat di kawasan perkotaan, tetapi juga menjangkau wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Strategi ini dilengkapi dengan pelibatan aktif pemerintah daerah, partisipasi masyarakat lokal, dan pemetaan kebutuhan berbasis data spasial agar intervensi lebih tepat sasaran.
Adakah pendekatan inovatif yang digunakan untuk mendorong kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat dalam pembangunan kawasan permukiman?
Ya. Salah satu pendekatan inovatif kami adalah metode Community-Based Development (CBD), seperti yang diterapkan dalam program penanganan permukiman kumuh dan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), di mana masyarakat diposisikan sebagai subjek utama pembangunan. Selain itu, kami menginisiasi forum multipihak untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor dan mendorong kemitraan strategis dengan BUMN serta dunia usaha melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Dengan laju urbanisasi yang kian cepat, bagaimana merumuskan kebijakan agar pertumbuhan permukiman tetap terkendali dan ramah lingkungan?
Kami menekankan perencanaan tata ruang berbasis daya dukung lingkungan dan mendorong pembangunan permukiman berorientasi transit (TransitOriented Development atau TOD). Konsep green infrastructure dan naturebased solutions mulai kami arusutamakan dalam desain kawasan permukiman. Di sisi lain, kami juga memperkuat regulasi terkait kawasan hunian berkelanjutan dan mengintensifkan edukasi serta penyuluhan kepada masyarakat urban baru guna menumbuhkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Bagaimana memastikan bahwa program benarbenar berdampak langsung bagi masyarakat, terutama kelompok rentan dan berpenghasilan rendah?
Kami memastikan bahwa setiap program menjawab kebutuhan nyata kelompok rentan dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), misalnya melalui penyediaan akses sanitasi yang layak, air bersih, serta hunian yang aman dan inklusif. Pelibatan masyarakat sejak tahap perencanaan menjadi kunci, agar pembangunan selaras dengan kebutuhan riil serta menumbuhkan rasa memiliki di tengah warga.
Bagaimana sinergi Ditjen Kawasan Permukiman dengan pemangku kepentingan lain, baik di tingkat pusat maupun daerah?
Kami mendorong kemitraan yang erat dan setara antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat sipil. Visi Indonesia Emas 2045 tidak mungkin tercapai tanpa kolaborasi seluruh elemen bangsa. Ditjen Kawasan Permukiman berkomitmen menjadi enabler dan fasilitator dalam menciptakan kawasan permukiman yang layak huni, inklusif, berkelanjutan, dan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi lokal.
Bisa dijelaskan, dari program perbaikan hunian di kawasan pesisir Indonesia melalui BSPS?
Pembangunan atau peningkatan kualitas rumah di Kawasan Pesisir menjadi salah satu program prioritas. BSPS Pesisir ditargetkan akan dilaksanakan di 28 29 Provinsi untuk 11,697 unit rumah dengan anggaran Rp255 miliar.
Selain Program BSPS di Kawasan Pesisir?
Kami mengalokasikan anggaran sebesar Rp 113 miliar untuk Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh di enam kawasan, yakni di Kawasan Kampung Ceria Kota Lubuk Linggau Sumatera Selatan, Kepenuhan Tengah Kabupaten Rokan Hulu Riau, Kawasan Jempol Kabupaten Sumbawa NTB, Kawasan Wringtappareng Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, dan Kawasan Banda, Maluku Tengah.
Bagaimana dengan pembangunan sanitasi?
Untuk mendukung upaya penanganan kawasan permukiman kumuh secara terpadu, telah dialokasikan anggaran sebesar Rp30 miliar untuk kegiatan pembangunan sanitasi. Kegiatan tersebut direncanakan dilaksanakan pada lokasi yang sama dengan pelaksanaan peningkatan kualitas permukiman kumuh. Dengan sinergi pelaksanaan kedua kegiatan tersebut, diharapkan permasalahan kekumuhan di lokasi dimaksud dapat ditangani secara menyeluruh dan tuntas.
Bisa dijelaskan upaya percepatan pembangunan perumahan?
Kementerian PKP melalui Ditjen Kawasan Permukiman juga membentuk Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) (Hunian Berimbang dan Dana Konversi). Pembentukan BP3 merupakan amanat UU 1/2011 tentang PKP, amanat UU 20/2011 tentang rusun, dan amanat UU 6/2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UU 2/2022 tentang Cipta Kerja. Badan ini akan mendorong percepatan Program Tiga Juta Rumah melalui Lembaga khusus sebagai eksekutor teknis, mengelola sumber pendanaan selain APBN (Dana konversi, Hunian Berimbang untuk penyediaan perumahan bagi MBR), menyempurnakan ekosistem perumahan, untuk melakukan percepatan program perumahan MBR, dan menjamin ketersediaan rumah bagi MBR.