Bupati Mentawai, Rinto Wardana

Kami Tidak Ingin Bergantung Sepenuhnya pada Jalur Laut

Redaksi | Kamis, 31 Juli 2025 - 17:40 WIB


Saya memimpikan, 10 sampai 20 tahun mendatang, di Mentawai telah terbangun 10 Cikal Bakal kota yang akan menjadi daerah persiapan pemekaran wilayah.
Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Ist.

Jakarta - Di sebuah ruko tanpa papan nama di bilangan Dr. Saharjo, Jakarta Selatan, pagi itu berlangsung janji temu dengan Rinto Wardana, Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

“Ruko ini sudah jadi rumah saya. Ada dapur, ada kamar mandi juga,” ujar Rinto, mengawali pembicaraan dengan Majalah 
FIVE
- yang mendirikan firma hukum Law and Firm setelah mengundurkan diri dari sebuah perusahaan tambang.

Lelaki yang lahir dan besar di desa kecil bernama Beleraksok, Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai ini, lalu menunjuk ke sudut 
ruangan di bawah jendela besar lantai tiga.

“Saya tidur di situ, pakai kasur gulung,” katanya sambil tersenyum.

Percakapan pun mengalir santai-dari kebijakan efisiensi anggaran yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto, visi 
pembangunan Mentawai, hingga mimpi besarnya tentang tanah kelahiran di masa mendatang.

Berikut petikan wawancaranya :

Bagaimana Anda merespons kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto?

Saya mendukung penuh kebijakan efisiensi yang diambil Presiden Prabowo. Tidak ada yang salah dengan arah kebijakan  tersebut. Bahkan, kalau boleh mengklaim, tema efisiensi anggaran sudah saya gaungkan sejak masa kampanye Pilkada Kabupaten Mentawai, antara Agustus hingga November 2024. 

Sementara itu, Presiden Prabowo baru secara resmi menetapkan kebijakan efisiensi pada Januari 2025, empat bulan setelah beliau dilantik. Jadi, saya merasa visi kami memang sejalan sejak awal. Sejak masa kampanye, saya selalu menekankan pentingnya pengetatan anggaran. Karena itu pula saya mengusung jargon: kerja cepat, kerja keras, kerja cerdas, dan kerja tepat. Nah, kerja tepat itu salah satunya menyangkut pengelolaan anggaran, bagaimana anggaran digunakan secara benar, tepat sasaran, dan tidak mubazir. Saya melihat terlalu banyak anggaran yang dipakai untuk hal-hal yang tidak jelas manfaatnya.

Contoh konkretnya?

Contoh paling sederhana adalah pembangunan sekolah. Di hampir setiap dusun ada bangunan sekolah. Tapi pertanyaannya: 
isinya ada tidak? Siapa muridnya? Siapa gurunya? Bagaimana kualitasnya? Itu yang sering luput dari perhatian. Yang penting 
sekolah dibangun, padahal substansinya tidak diperhatikan.

Kadang kita melihat sekolah dibangun bukan karena ada kebutuhan mendesak, tapi karena ada anggaran. Pembangunan 
menjadi tujuan, bukan sarana. Akibatnya, anggaran dihabiskan untuk proyek yang hanya kelihatan di permukaan, tetapi tidak 
membawa dampak nyata bagi masyarakat. Makanya, saya tidak kaget kalau ada yang mengeluh soal anggaran.

Faktanya, ketika saya masuk, anggaran memang sudah dipangkas. Anggaran APBD Kabupaten Mentawai misalnya, semula 
disebutkan Rp1,1 triliun, tapi langsung dipotong di awal. Bahkan untuk program-program prioritas seperti Pengadaan 
Operasional (PO), yang sebelumnya dialokasikan Rp184 miliar, sudah langsung dipotong di muka. Jadi, kita memang harus kerja tepat. Bukan hanya kerja keras, tapi kerja yang betul-betul punya dampak dan nilai manfaat.

Langkah apa yang Anda ambil?

Begitu saya menjabat, saya langsung mengecek kondisi anggaran. Saat itu, saya diberi tahu bahwa anggaran sudah habis, 
tidak ada lagi ruang untuk kegiatan pembangunan, kecuali sisa dana SILPA yang terbatas. Tapi saya tidak langsung percaya begitu saja. Saya sisir kembali seluruh pos anggaran.

Apa hasilnya?

Dari penyisiran pertama, saya bisa temukan potensi efisiensi sebesar Rp30 miliar. Lalu saya telusuri lagi, dan ternyata totalnya 
mencapai Rp60 miliar. Itu berasal dari dua jenis Dana Alokasi Umum (DAU): DAU Block Grant dan DAU Specific Grant. Masing
masing Rp30 miliar.

Apa yang ingin Anda tekankan dari temuan ini?

Pertanyaannya sekarang: di mana letak masalah dengan kebijakan efisiensi? Faktanya, saya bisa menemukan anggaran 
Rp60 miliar yang sebelumnya dianggap sudah habis. Kalau dana itu saya potong, apakah ada program yang langsung berhenti? Ternyata tidak. Artinya, memang ada pemborosan.

Faktanya ada banyak proyek yang tersendat?

Tersendat, iya. Tapi bukan berarti berhenti. Justru dari temuan anggaran sebesar Rp60 miliar itu, saya manfaatkan untuk 
membangun jalan poros dan melakukan pemeliharaan jalan yang sudah ada.

Sejak kapan Anda mulai memanfaatkan dana tersebut?

Sejak saya dilantik. 

Jadi fokusnya perawatan jalan atau membangun jalan baru?

Keduanya. Ada pembukaan jalan baru dan juga perawatan jalan yang sudah ada.

Berapa panjang jalan baru yang direncanakan untuk dibangun pada 2025 hingga 2027 di Mentawai?

Jalan baru itu rencananya mulai dibangun tahun depan, karena tahun ini kami masih memakai anggaran warisan sebelumnya. Jadi realisasi jalan baru akan dimulai tahun 2026.

Bisa dijelaskan konsep pembangunan jalan yang Anda maksud?

Kami punya sistem sendiri: jalan dibuka, lalu digusur, ditimbun dengan karang, kemudian dipadatkan. Itu langsung bisa 
difungsikan. Dengan metode ini, anggaran bisa lebih efisien, paling hanya sekitar Rp100 miliar, kurang lebih.

Berapa lebar jalan yang dibangun?

Kami timbun baru sekitar empat meter dari total lebar 12 meter. Tapi itu sudah cukup untuk dilewati kendaraan. Dengan metode ini, anggaran pembangunan jalan masih bisa kami jaga di kisaran Rp100 miliar sampai Rp150 miliar. Yang penting sekarang jalannya terbuka dulu.

Maksudnya terbuka dulu?

Maksudnya, yang penting aksesnya ada dulu. Di Mentawai, banyak dusun yang belum terhubung dengan jalan darat. Selama ini semua rute perjalanan masih lewat laut. Padahal, laut di sini sering dilanda badai yang luar biasa, dan waktu tempuh bisa mencapai tiga sampai enam jam.

Seberapa besar dampak kondisi ini bagi masyarakat?

Sangat besar. Misalnya, perahu yang mereka pakai hanya bisa mengangkut 100 sampai 200 kilogram kopra. Tapi untuk satu kali pengantaran saja, mereka harus keluarkan biaya Rp5 juta sampai Rp10 juta. Sekarang memang harga kopra lumayan, sekitar Rp15.000 per kilogram. Jadi kalau bawa 200 kilo, pendapatan kotor mereka Rp3 juta. Artinya, mereka masih rugi karena ongkos lebih besar dari hasil jual.

Bisa dijelaskan, apa saja program prioritas Anda?

Saya memiliki enam program prioritas yang menjadi fokus utama. Pertama membangun jalan yang menghubungkan dusun 
dengan dusun, dusun dengan desa, desa dengan kecamatan, kecamatan dengan kabupaten. Kedua, membangun jaringan 
listrik. Ketiga, membangun jaringan internet yang merata untuk meningkatkan konektivitas warga. Keempat, membangun sarana dan jaringan air bersih yang terhubung ke rumah-rumah warga. Kelima, meningkatan layanan kesehatan. Ada dua program unggulan, yaitu Ambulans Laut dan Rumah Sakit Bergerak, untuk menjangkau daerah-daerah terpencil. Keenam, meningkatkan pendapatan per kapita warga masyarakat Mentawai.

Jadi infrastruktur jalan itu prioritas utama?

Betul. Apa pun kondisinya, saya akan alokasikan anggaran ke pembangunan jalan, tentu tanpa mengganggu fungsi-fungsi dasar pemerintahan. Karena ini fondasi dari pembangunan lainnya.

Targetnya seperti apa?

Dalam dua tahun ke depan, saya akan membuka jalan yang menghubungkan seluruh dusun di Kabupaten Kepulauan 
Mentawai.

Ada empat pulau besar di Mentawai, bukan?

Iya. Kalau di Pulau Pagai Selatan tinggal enam dusun yang belum terhubung jalan. Di Pagai Utara hampir semuanya sudah 
terhubung, tinggal peningkatan kualitas dan pemeliharaan saja. Walaupun jalannya belum bagus, tapi kendaraan sudah bisa lewat.

Bagaimana dengan Pulau Sipora?

Sipora ini pusat pemerintahan, jadi fokus kami cukup besar di sana. Masih ada satu ruas jalan yang belum dibuka, yakni dari Desa Betumonga ke Berimanua atau Betumonga langsung ke Berkat.\

Tinggal beberapa dusun lagi?

Untuk wilayah ujung barat Sipora masih ada enam dusun yang belum terhubung jalan: Surat Aban, Ma Bola, Bangka Bangka, 
Bangka Ulu, Matotonan, dan Khorid Buah. Itu yang akan jadi prioritas pembukaan jalan ke depan.

Apa tujuan pembangunan jalan di Mentawai?

Pembangunan jalan di daerah kami bertujuan utama untuk membuka keterisolasian wilayah. Ini bukan sekadar proyek 
infrastruktur, tetapi langkah strategis agar masyarakat kami tidak lagi bergantung sepenuhnya pada jalur laut yang berisiko tinggi. 

Ketika saya sampaikan gagasan ini, bahkan pemerintah pusat awalnya sempat tertawa karena menganggapnya tidak biasa. Tapi setelah saya jelaskan, mereka paham bahwa ini bukan proyek biasa, ini tentang konektivitas dan aksesibilitas bagi masyarakat terpencil.

 Di Mentawai, kami punya banyak karang. Jadi saya harap tidak ada pihak yang melarang penggunaannya, apalagi kalau alasannya karena kerusakan lingkungan. Ini bukan untuk komoditas atau komersialisasi. Karang-karang 
itu memang ada di ladang-ladang warga, dan warga sendiri yang menyerahkannya kepada kami. Mereka bilang, “Silakan Pak, ambil saja, yang penting jalan kami bisa dibuka.” Kami hanya bermodal BBM untuk melakukannya.

 Apakah tidak khawatir dituding merusak lingkungan dengan penggunaan karang dan pembukaan jalan?

Kami ini bukan membangun pelabuhan atau dermaga besar. Kami membangun jalan, dan kami mengikuti prosedur yang 
berlaku. Bahkan untuk urusan kelautan, kami tetap koordinasi. Kalau soal hutan, saya juga selalu terbuka untuk diskusi. Tapi kalau ada aktivis yang hanya bisa mengkritik tanpa solusi, saya tantang balik “Kalau tidak setuju dengan jalan darat, kalian mau saya pakai apa? Kereta gantung?.”

Itu semua tidak logis. Jalan harus dibuka karena masyarakat membutuhkannya. Dan faktanya, sekarang mereka mendukung 
1000 persen, karena mereka sadar pentingnya konektivitas itu.

Bukankah ada risiko merusak hutan?

Yang tidak boleh itu merusak hutan sembarangan tanpa kendali. Tapi membuka jalan demi kepentingan bersama, itu harus dibedakan. Saya setuju kita harus mengatur dan mengelola dengan baik. Tapi kalau saat membangun jalan saya dituntut ganti rugi karena melewati kebun atau tanaman milik warga, saya langsung berhenti.

Apa yang Anda jelaskan kepada masyarakat?

Saya bilang kepada masyarakat: “Kalau jalan ini lewat kebun Bapak dan Bapak minta ganti rugi, saya hentikan sekarang juga. 
Tidak akan saya lanjutkan.” Saya tidak mau membayar satu rupiah pun untuk ganti rugi karena ini bukan jalan pribadi, ini jalan untuk masyarakat. Kalau saya hanya mikirkan diri sendiri, saya bisa naik bot, selesai urusan. Tapi saya mikirkan masyarakat. Jadi kalau mereka mikirkan ganti rugi, itu tidak sejalan dengan semangat pembangunan ini.

Bagaimana menghadapi masyarakat yang menuntut ganti rugi?

Saya sudah tegaskan, kalau ada warga yang menuntut ganti rugi, kami hentikan langsung. Kita buat berita acara, ditandatangani bersama. Ketika masyarakat lain datang bertanya kenapa proyek dihentikan, saya tinggal tunjukkan berita acaranya. Kalau mereka marah, itu urusan mereka dengan orang yang meminta ganti rugi. Kalau mereka merasa orang itu menghalangi pembangunan jalan, ya silakan mereka yang menyelesaikannya di tingkat komunitas. Kita harus jujur, tidak semua bisa dijawab dengan idealisme. Kadang kita harus realistis.

Sudah 25 tahun sejak kami menjadi kabupaten, tapi akses kami masih lewat laut. Nyawa kami jadi taruhan. Setiap kali ada kapal terbalik, kami merasa seperti ditarik mundur ke masa lalu. Maka, membangun jalan darat adalah pilihan logis dan mendesak.

Apa mimpi Anda akan masa depan Mentawai?

Saya memimpikan, 10 sampai 20 tahun mendatang, di Mentawai telah terbangun 10 Cikal Bakal kota yang akan menjadi daerah persiapan pemekaran wilayah, di Pulau Siberut terdapat tebing tinggi dipantai barat, jika jalan sudah terbuka maka saya ingin ada satu kampus dibangun disana dengan halaman kampus berupa pemandangan ke samudera Hindia dan matahari terbenam. 

Mahasiswa dapat menikmati sunset dari halaman kampus dan menjadi satu-satunya kampus di Indonesia dengan pemandangan yang berbeda sehingga, 20 sampai 30 tahun kedepan, wajah Mentawai benar-benar berubah dan semakin maju menjadi daerah destinasi wisata premium dan kota impian masa depan.