Jakarta - Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi mendukung penuh pernyataan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono yang meminta prajuritnya untuk menunjukkan kekuatan yang menggetarkan lawan maupun kawan, dan pihak-pihak yang ingin merongrong kedaulatan serta mengganggu kepentingan negara di laut Indonesia.
Hal ini disampaikan Yudo Margono di tengah kondisi meningkatkanya ketegangan di Laut Natuna Utara usai Indonesia mendapat protes dari China, Selasa, (7/12).
Fachrul Razi juga menekankan kedaulatan bangsa di atas segalanya dan tidak boleh ada bangsa lain yang menghina kedaulatan republik Indonesia.
"Kedaulatan negara di atas segalanya. TNI AL telah memiliki image dan kesan yang kuat serta terus berkembang baik. Kualitas personel, persenjataan dan alutsista serta kesejahteraan dan kuantitas personel TNI AL telah menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kapabilitas yang hebat di bidang militer. Maka usaha picture building untuk membangun postur TNI AL yang kuat telah berhasil. Akan tetapi, selain memberikan kesan yang kuat dan siap, TNI AL juga harus mampu menunjukkan kesan yang lembut dan mampu menjadi penengah di dalam konflik yang sedang terjadi. Hal ini untuk menghindari pencaplokan wilayah teritorial kita dari China di Laut Natuna Utara," kata Fachrul Razi.
Alumni FISIP Universitas Indonesia ini menambahkan, Indonesia dapat menerapkan langkah deterrence sebagai salah satu upaya naval diplomacy. Ide dasar dari serangan dan pertahanan adalah letak sumber kekuatan. Di mana terdapat area vital dan strategis, di sanalah pusat serangan yang lebih besar.
"Indonesia, sebagai salah satu negara yang paling vokal dan memiliki bargaining power terkuat dalam ASEAN, telah mengupayakan berbagai macam diplomasi untuk mencapai resolusi konflik di Laut Tiongkok Selatan. Kawasan dengan potensi yang strategis tentunya membutuhkan kebijakan strategis pula. Negara yang tidak mampu meramu kebijakan strategisnya di kawasan ini akan kehilangan kepentingan strategisnya pula," jelas Fachrul Razi.
Seperti diketahui, China mengklaim sebagian Laut Natuna Utara sebagai bagian dari wilayah tangkap tradisional mereka. Klaim itu dinyatakan China dengan mengumumkan zona sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang mencakup sebagian besar Laut China Selatan yang kaya energi.
Klaim China yang dituangkan dalam peta sembilan garis putus-putus telah digugurkan oleh Pengadilan Arbitrase di Belanda, 12 Juli 2016, sebab tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Namun, China mengabaikannya dan terus melanjutkan pembangunan di seluruh wilayah itu.