DPR Tanyakan Langkah Pemerintah Produksi Obat Dalam Negeri

Kiki Apriyansyah | Rabu, 07 Desember 2022 - 17:32 WIB


Politisi PDI-Perjuangan itu pun menanyakan semangat penerintah untuk untuk menuju kemandirian obat dalam negeri.
Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Anggota Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning foto : doc. Humas DPR RI

Jakarta - Anggota Komisi VII DPR RI Ribka Tjiptaning Proletariyati mempertanyakan langkah pemerintah dalam memproduksi obat dalam negeri. Pasalnya Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengklaim saat ini industri farmasi nasional telah menguasai pasar obat sekitar 89 persen. Menurut Ribka, sebelumnya upaya memproduksi obat di dalam negeri pernah digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Ribka yakin, jika terealisasi, akan baik untuk produk dalam negeri.

“Kalau sampai bolak-balik, mental orang-orang kita sendiri yang harus diubah. User-nya harus mau pake produk dalam negeri. Kemarin berkembang isu ginjal akut kronis, belum-belum Menteri Kesehatan mau impor obat dari Singapura dan Australia dengan harga Rp16 juta per vial. Enggak mungkin ditanggung BPJS,” kata Ribka dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI bersama Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita beserta jajaran di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 7/12/2022.

Politisi PDI-Perjuangan itu pun menanyakan semangat penerintah untuk menuju kemandirian obat dalam negeri.

“Jangan sampai Menperin semangat ke sana (kemandirian obat dalam negeri, memproduksi, mendorong obat-obat dalam negeri tapi (Menteri) yang satunya gila impor. Soalnya impor ada fee-nya. Dalam negeri enggak. Dokter-dokter kita juga (orientasi obat impor). Yang idealis ada 10 persen saya lihat,” ucap Ribka.

Dari pengamatan yang ia lakukan, pasien mengeluhkan obat yang disarankan dokter cukup mahal.

“Ternyata dokter suka obat yang paten, padahal pakai obat generik bisa. Karena ada janjinya itu lho (buat dokter). Kalau pakai obat paten ada reward buat dokter, jadi enggak mau tahu pasien keberatan atau nggak (untuk membayar tagihan obat. Ini yang sulit. Padahal mungkin obat generik bisa lebih bagus dibanding obat paten,” ujar Ribka.

Politisi PDI-Perjuangan itu mengaku bingung terkait semangat produksi obat dalam negeri ini, apakah di Kemenperin, Kementerian Perdagangan atau Kementerian Kesehatan.

Selanjutnya ia juga mengungkapkan, penderita thalassemia di Indonesia sekitar 17 ribu yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Padahal yang tercover BPJS Kesehatan hanya 5 ribuan peserta.

“Kalau dia (pasien) obat itu impor dengan pajak tinggi, disamain aja samaa beli mobil mewah. Kalau bebas pajak, bisa 1 (obat) banding 3 (obat). Yang tadinya 1 obat, thalassemia ini orang kaya bisa miskin. Karena biaya 1 tahun bisa sampai Rp300 juta buat 1 anak. Bayangkan masih kena pajak seperti pajak mobil. Kalau itu bisa diproduki di dalam negeri, jangan sampai itu nanti semangatnya fee lagi,” pungkas Legislator Dapil Jawa Barat IV itu.

Sebelumnya, Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan saat ini industri farmasi nasional telah menguasai pasar obat sekitar 89 persen. Namun, 90 persen bahan baktu obat (BBO) aktif maupun bahan baku penolong yang digunakan industri tersebut ternyata masih harus diimpor.

“Beberapa obat yang masih perlu diimpor di antaranya obat-obat yang masih dalam masa paten, berbagai jenis produk biologi, dan obat-obat dengan bentuk dosis yang spesiifik seperti aerosol, inhaler, atau pen insulim,” ujar Agus Gumiwang. 

Saat ini, Agus Gumiwang melanjutkan, pemerintah pun berupaya melakukan transformasi sistem kesehatan, dengan meningkatkan ketahanan sektor farmasi melalui penggunaan produk lokal, produk farmasi berbasis biologi, vaksin, dan bahan aktif obat.

Sejumlah industri farmasi dalam negeri pun, kata Agus Gumiwang, telah menyampaikan komitmennya kepada Kemenperin untuk mengganti penggunaan bahan baku impor dengan bahan baku lokal.“Salah satu program yang kami dorong yaitu Obat Modern Asli Indonesia,” tandasnya.