Jakarta - Anggota VI DPR RI Darmadi Durianto mengaku tidak bisa memastikan RUU perlindungan konsumen ini bisa tuntas sebelum Anggota DPR RI periode 2019-2024 mengakhiri masa tugas kedewanannya.
Kuatnya pengaruh pelaku usaha atau pengusaha dalam mempengaruhi para pengambil kebijakan dinilai menjadi salah satu penyebab ketidakpastian penuntasan revisi UU Perlindungan Konsumen.
“Sulit nggak kita mau revisi? Ini juga belum tentu. Itu kejadiannya bisa kaya Undang-Undang 5/99 (tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha-red). Batal terus karena kuat sekali kekuatan pelaku usaha, kuat sekali kekuatannya di situ, sehingga banyak kementerian tidak berpihak.
"DPR keras tapi kita nggak bisa maju-maju juga karena pemerintah kadang-kadang nggak bisa juga mau maju,” kata Darmadi dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema ‘Urgensi Revisi UU Perlindungan Konsumen’ di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa 14/3/2023.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini mengakui, selain sudah tidak mampu menjawab perubahan di masyarakat, UU Nomor 8/1999 yang sudah berusia sekira 21 tahun ini, juga memiliki banyak kekurangan.
Ada beberapa kekurangan UU Nomor 8 Tahun 1999. Sedikitnya, menurut Darmadi ada 3 kekurangannya.
Pertama, adalah terkait dengan sistem substansi hukumnya. Terdapat beberapa pasal dalam UU tersebut yang banyak mengalami kekeliruan, terutama dalam pasal 54 dan pasal 56.
“Di beberapa pasal, seperti pasal 54 putusannya itu final dan mengikat, tetapi di pasal 56 pihak terdakwa bisa mengajukan kasasi sehingga akan menyulitkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Jadi substansinya ini penuh dengan masalah,” jelasnya.
Kedua, terdapat masalah di jajaran aparat penegak hukumnya. Dalam kasus tentang perlindungan konsumen, polisi justru tidak menggunakan UU Perlindungan Konsumen dalam menangani perkara berkaitan perlindungan konsumen. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi kepada jajaran Polri.
“Jarang sekali (digunakan), karena banyak yang nggak tahu juga bahwa kepolisian, itu bagaimana cara menggunakan pasal-pasal di Undang-Undang 8/99,” ungkap Darmadi.
Ketiga soal budaya hukum. Yaitu persoalan masyarakat Indonesia yang malas lapor. Banyak masyarakat yang dirugikan tidak melapor karena berpikiran kalau melapor justru biaya penanganan perkara yang akan dikeluarkan lebih besar dari nilai kerugiannya.
“Jadi habisnya lebih banyak, menjadi budaya nggak mau lapor. Penelitian menunjukkan 67 persen kalau ada masalah diam aja, pasrah. Nggak mau lapor, ini semua membentuk (budaya) sehingga membuat perlindungan konsumen betul-betul sangat lemah,” ujar Darmadi.