Jakarta - Direktur Pengelolaan Sampah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (Ditjen PSLB3), Kementerian LHK, Novrizal Tahar menegaskan, perusahaan yang tidak punya komitmen serius terhadap Extended Producer Responsibility atau penerapan tanggung jawab produsen yang lebih luas terhadap produk yang dihasilkannya, khususnya menyangkut sampah packaging produknya harus terus diingatkan publik agar patuh, demi pengurangan sampah, termasuk sampah plastik yang dihasilkan mereka.
“Jika perlu masyarakat mengambil langkah tegas dengan tidak membeli produk-produk dari produsen yang tak punya komitmen tersebut. Masyarakat dapat mengkampanyekan ini sebagai bagian dari tanggungjawab masyarakat terhadap program pemerintah dalam pengurangan sampah, khususnya sampah plastik,” tegas Novrizal belum lama ini ketika menjadi pembicara dalam takshow “Solutions to Plastic Pollution” di Auditorium Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok.
Seperti diketahui, aturan hukum soal ini sangat jelas. Extended Producer Responsibility (EPR) ada regulasi khusus EPR-nya yaitu Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019. Juga dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah Tahun 2008.
Pasal 15 undang-undang tersebut menyatakan bahwa produsen bertanggung jawab atas pembuangan kemasan dan produk yang tidak dapat dikomposkan atau sulit untuk dijadikan kompos.
Begitu juga dengan Perpres 81/2012, industri diwajibkan menggunakan bahan daur ulang dan mengurus daur ulang kemasan.
Peraturan 97/2017 (juga dikenal sebagai Jakstranas) dibangun di atas peraturan dari 2012 dan merumuskan target konkret untuk pengurangan limbah dan menetapkan berbagai langkah yang mungkin tentang bagaimana mencapai pengurangan ini.
Dalam paparannya mengenai “Pengelolaan Sampah Plastik di Indonesia”, Novrizal mengungkapkan, potensi sampah plastik di Indonesia: 18.12% (Tahun 2022) dari total timbulan sampah 69.2 juta ton sampai 12,54 juta ton/tahun (kondisi belum terpilah).
Dikemukakan Novrizal, berdasarkan data SIPSN Tahun 2022, sampah plastik adalah jenis sampah yang persentasenya paling besar kedua setelah sampah sisa makanan, yaitu 18,12%. Sampah plastik tidak mudah terurai, butuh waktu hingga ratusan tahun untuk terurai secara alami.
“Jadi, perlu gerakan massif dan jika perlu revolusi budaya yakni gaya hidup minim sampah termasuk sampah plastik,” tandasnya.
Di depan alumni UI, mahasiswa dan pegiat lingkungan yang memenuhi auditorium, Novrizal menjelaskan berbagai kebijakan dan target Pemerintah dalam hal ini KLHK.
“Kami menyimpulkan bahwa sampai saat ini Pemerintah melakukan langkah simultan dalam pengurangan sampah, dari hulu sampai hilir, dengan berbagai pendekatan. Hasilnya sudah kita rasakan meski harus terus diterapkan kebijakan yang kolaboratif,” katanya.