Jakarta - Koalisi Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau (KNMSPT) menuding lemahnya aturan pengendalian tembakau dan buruknya komitmen pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin dalam menurunkan prevalensi perokok anak di Indonesia berdampak pada buruknya kualitas kesehatan anak sekaligus mengancam bonus demografi 2030-2040.
“Kami mendesak pemerintah untuk serius melindungi hak kesehatan publik khususnya hak anak dan kelompok rentan lainnya dari bahaya produk tembakau dengan membuat aturan yang komprehensif dan ketat demi menghindari terjadinya bencana demografi akibat mengkonsumsi zat adiktif produk tembakau seperti rokok, vape dan sejenisnya.”, terang Ifdhal Kasim selaku Koordinator KNMSPT saat membuka Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dengan tema: Menggugat Komitmen dan Tanggung Jawab Negara terhadap Perlindungan Hak Kelompok Rentan dari Dampak Buruk Produk Tembakau dan Intervensi Industri Rokok di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat, Senin 04/12/2023.
Sebagaimana disebutkan, Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI menunjukan jumlah perokok pemula (usia 10 hingga 14 tahun) naik hampir dua kali lipat dari 5,9 persen pada 2010 menjadi 9,1% pada tahun 2018. Angka tersebut jauh dari angka optimis pemerintah yang menetapkan target penurunan prevalensi perokok anak menjadi 5,4% pada tahun 2019.
Secara umum, data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menyebutkan 25% masyarakat Indonesia adalah perokok, dan perokok pria Indonesia adalah terbanyak dari seluruh negara di dunia saat ini.
Ifdhal pun mengingatkan pemerintah kalau saat ini Indonesia dalam situasi darurat rokok, sambil merujuk pada prediksi Bappenas dimana jika tidak ada komitmen dan upaya mencegah peningkatan prevalensi perokok anak di Indonesia, maka pada tahun 2030, akan terdapat 16 persen atau sekitar 10 sd 12 juta perokok anak dengan kualitas kesehatan yang mengkuatirkan.
“Sayangnya, pemerintah terkesan tidak peduli dalam melindungi hak atas kesehatan warganya dari dampak buruk rokok, dan lebih mementingkan keuntungan finansial dari pajak/cukai hasil produk tembakau semata. Untuk itu, sudah seharusnya dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Omnibus Kesehatan, aturan yang ketat dan komprehensif soal pengendalian tembakau menjadi indikator komitment pemerintah dalam melindungi hak kesehatan publik dari bahaya rokok dan produk tembakau lainnya”, tegas aktivis HAM sekaligus Wakil Ketua Umum Peradi ini.
Hal tersebut di atas diamini oleh Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro yang hadir sebagai Keynote Speaker pada FGD tersebut. Menurutnya, tingginya prevalensi perokok di Indonesia khususnya perokok pemula, menunjukkan negara tidak menjalankan kewajiban HAM nya dalam melindungi hak kesehatan publik khususnya kelompok rentan dari bahaya produk tembakau.
“Negara harus hadir untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, khususnya hak atas kesehatan kelompok rentan Indonesia mengingat Indonesia merupakan negara pihak pada perjanjian-perjanjian HAM internasional seperti Kovenan Hak Sipol dan Kovenan Hak Ekosob serta sejumlah instrumen HAM penting lainnya seperti: Konvensi Hak Anak, Konvensi Hak Perempuan, Hak Penyandang Disabilitas dan lain-lain.”, terangnya.