Jakarta - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkumham menyatakan bahwa Surat Keterangan yang diterbitkan KPK untuk terpidana kasus Korupsi, Muhammad Nazaruddin, dikategorikan sebagai penetapan Justice Collaborator (JC).
JC adalah pelaku kejahatan yang mengaku bersalah dan bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar suatu kejahatan.
"Bahwa surat keterangan yang dikeluarkan KPK dikategorikan sebagai JC, sebagaimana pasal 34A Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012," ungkap Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS Kemenkumham, Rika Aprianti, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (18/6).
Hal tersebut disampaikan Rika untuk menanggapi pernyataan Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri, yang mengatakan bahwa KPK tidak pernah mengeluarkan status JC bagi Nazaruddin.
Ali Fikri menyebut, Surat Keterangan Nomor R-2250/55/06/2014 yang diterbitkan tanggal 9 Juni 2014 dan Surat Nomor R.2576/55/06/2017 bertanggal 21 Juni 2017 bukanlah surat penetapan status JC untuk Nazaruddin.
Sementara Rika Aprianti pada keterangan persnya Rabu (17/6) menyatakan bahwa dua surat keterangan yang diterbitkan KPK tersebut merupakan dasar pemberian status JC untuk Nazaruddin.
Rika menjelaskan bahwa dalam Surat Keterangan dari KPK Nomor: R-2250/55/06/2014, Nazaruddin disebut sudah menunjukkan kerja sama yang baik dalam mengungkap perkara tindak pidana Korupsi. Rika juga mengatakan bahwa penetapan Nazaruddin sebagai JC sudah ditegaskan oleh pimpinan KPK periode sebelumnya.
"Status JC untuk Muhammad Nazaruddin juga ditegaskan pimpinan KPK pada 2017 dan dimuat di banyak media massa," ujarnya.
Lebih lanjut, Rika juga mengatakan bahwa Nazaruddin telah membayar lunas denda vonis pengadilan sebesar Rp1,3 miliar, sehingga dia berhak mendapat remisi sejak 2014 sampai dengan 2019.
"Pemberian remisi itu menegaskan status Nazaruddin sebagai JC, karena remisi tidak mungkin diberikan pada narapidana kasus Korupsi yang tidak menjadi JC sesuai PP Nomor 99 Tahun 2012," katanya.
Untuk diketahui, berdasarkan Pasal 34A ayat 1 PP Nomor 99 Tahun 2012, dijelaskan bahwa pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana tertentu selain harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 34, juga harus memenuhi persyaratan, yaitu bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya.
Nazaruddin merupakan terpidana dua perkara, yaitu Korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games 2011 dan suap proyek pengadaan yang dilakukan oleh PT Duta Graha Indah (DGI) serta tindak pidana pencucian uang. Total hukuman Nazaruddin adalah 13 tahun penjara dan akumulasi denda sebesar Rp1,3 miliar.
Nazaruddin pada kasus Wisma Atlet, terbukti menerima suap Rp4,6 miliar dari mantan Manajer Pemasaran PT DGI M. El Idris. Setelah divonis hakim, hukuman itu juga diperberat oleh Mahkamah Agung menjadi tujuh tahun dan denda Rp300 juta.
Lalu vonis Nazaruddin ditambah enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar karena terbukti secara sah dan meyakinkan menerima gratifikasi dan melakukan pencucian uang dari PT DGI dan PT Nindya Karya untuk sejumlah proyek yang jumlahnya mencapai Rp40,37 miliar.
Nazaruddin seharusnya dibebaskan pada tahun 2025 jika sesuai dengan akumulasi pidana yang ia dapat. Namun, setelah memporeh berbagai remisi, masa pidananya pun selesai pada 13 Agustus 2020.
Kepala Lapas Kelas I Sukamiskin pada 7 April 2020 mengusulkan agar Nazaruddin mendapatkan cuti menjelang bebas. Usul tersebut lalu disetujui dalam sidang TPP Ditjenpas, sehingga dia dikeluarkan melalui cuti menjelang bebas dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Minggu (14/6/2020).