Jakarta - Kerja sama hukum dan HAM termasuk di bidang Mutual Legal Assistance (MLA/Bantuan Hukum Timbal Balik) dan ekstradisi, menjadi topik pembahasan selama kunjungan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke Serbia.
Seperti diketahui Yasonna Laoly melakukan kunjungan kerja ke Serbia sejak Sabtu, 4 Juli, lalu. Dalam keterangan pers dari Kemenkum HAM yang diterima, baru-baru ini, disebutkan kunjungan itu merupakan tindak lanjut dari kunjungan Duta Besar Serbia untuk Indonesia Slobodan Marinkovic sebelumnya. Pada pertemuan itu, Yasonna membahas potensi kerja sama, termasuk di bidang Mutual Legal Assistance (MLA/Bantuan Hukum Timbal Balik) dan ekstradisi.
"Kita sebelumnya sudah menerima dan mempelajari draft perjanjian internasional terkait MLA dari Serbia. Kunjungan kali ini di antaranya untuk membahas lebih lanjut dan mencapai kesepakatan terkait perjanjian tersebut," ujar Yasonna dalam keterangan pers.
"Saya berharap bisa membawa pulang kabar baik dari kunjungan ini," imbuh Yasonna.
MLA dinilai penting bagi Yasonna. MLA juga berguna untuk pemberantasan korupsi serta pengembalian aset hasil korupsi.
"Selain itu, kerja sama bidang hukum dan HAM seperti Perjanjian MLA serta ekstradisi juga bermanfaat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi serta pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi atau asset recovery," ujarnya.
Terkait MLA, Indonesia telah memiliki 11 perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik. Tujuh di antaranya sudah diratifikasi menjadi UU, yakni MLA dengan Australia, China, Korea Selatan, ASEAN, Hong Kong, India, dan Vietnam. Adapun empat lainnya sedang dalam proses ratifikasi, yaitu dengan Uni Emirat Arab, Iran, Swiss, dan Rusia.
Di sisi lain, RUU tentang Pengesahan Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dan Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss pada tengah pekan ini sudah disepakati untuk dibawa ke rapat paripurna DPR dan diharapkan bisa segera disahkan menjadi undang-undang.
Yasonna mengatakan undang-undang tersebut akan memungkinkan aparat penegak hukum Indonesia memetakan kemungkinan adanya harta kekayaan hasil korupsi, penggelapan pajak, dan tindak pidana lain dari Indonesia yang disimpan di Swiss.