Fadli Zon: Buku SNI Harus Segera Dimutakhirkan, Era Reformasi Belum Terdokumentasi

Kiki Apriyansyah | Senin, 26 Mei 2025 - 15:23 WIB


Fadli Zon menyebut buku terakhir hanya memuat sejarah hingga era Presiden BJ Habibie dan tidak mencatat pemerintahan Gus Dur hingga kini.
Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Menteri Kebudayaan Fadli Zon (kanan), Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha (tengah) dan Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudin (kiri) foto bersama sebelum mulai rapat kerja Komisi X DPR RI dengan Menteri Kebudayaan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/05/2025).

Jakarta – Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menyoroti pentingnya pemutakhiran Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025).

Dalam rapat tersebut, Fadli menyampaikan bahwa Buku SNI yang saat ini beredar terakhir diperbarui pada 2007 dan hanya mencakup sejarah hingga era Presiden BJ Habibie. Artinya, periode penting pascareformasi seperti era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo (Jokowi), hingga pemerintahan saat ini belum tercatat dalam buku tersebut.

“Kalau kita lihat dari enam jilid buku SNI, terakhir hanya sampai pemerintahan BJ Habibie. Jadi dari era Gus Dur hingga sekarang belum pernah ditulis kembali atau dimutakhirkan, meskipun terakhir terbit itu tahun 2008,” ujar Fadli.

Ia juga menyoroti minimnya dokumentasi tentang perkembangan demokrasi Indonesia. “Dalam buku SNI hanya dibahas sampai Pemilu 1997. Artinya, tidak ada catatan sejarah tentang Pemilu sejak 1999 hingga 2024. Ini tentu menjadi kekosongan narasi sejarah bangsa,” tambahnya.

Fadli menyebut Indonesia sempat menerbitkan buku sejarah lain berjudul Indonesia dalam Arus Sejarah yang lebih bersifat topikal, namun buku tersebut ditulis tahun 2008 dan baru terbit pada 2012. Menurutnya, ini menegaskan bahwa sudah terlalu lama Indonesia tidak menyusun ulang sejarah nasional secara komprehensif.

Buku sejarah yang akan dirancang ke depan, kata Fadli, akan disusun dari perspektif Indonesia sentris. “Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, tapi jembatan identitas nasional dan perjuangan kolektif bangsa. Kita masih banyak memakai perspektif kolonial yang kurang menjawab tantangan kekinian dan globalisasi,” ungkapnya.

Ia juga menekankan pentingnya penyusunan sejarah yang mampu menjawab kebutuhan generasi muda. “Banyak generasi muda yang belum memahami sejarah kita. Ada yang mengira Soekarno Hatta itu satu nama, bahkan singkatan Soetta untuk bandara dianggap nama tokoh baru,” ujarnya.

Fadli menegaskan, buku sejarah yang disusun tidak akan bersifat terlalu rinci, melainkan akan menampilkan highlight atau garis besar perjalanan sejarah bangsa. “Kalau ditulis secara detail, bisa lebih dari 100 jilid. Ini bukan hanya tentang menulis ulang, tapi tentang menemukan kembali jati diri bangsa reinventing Indonesian identity,” tegasnya.

Menurut Fadli, langkah ini sejalan dengan amanat UUD 1945 Pasal 32 ayat 1 yang menyebutkan bahwa negara harus memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dan menjamin masyarakat dalam memelihara serta mengembangkan nilai budayanya.

Baca Juga