Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI Sabam Sinaga, menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sangat penting dilakukan mengingat undang-undang ini sudah berusia lebih dari dua dekade dan tak lagi sepenuhnya relevan dengan kondisi dan tantangan pendidikan saat ini.
Hal ini disampaikannya dalam Forum Legislasi bertema “RUU Sisdiknas untuk Sistem Pendidikan yang Inklusif dan Berkeadilan” yang berlangsung di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/6/2025).
"Dalam dua puluh dua tahun terakhir, banyak hal telah berubah. Kita menghadapi tantangan baru, mulai dari intimidasi terhadap guru, bullying terhadap siswa, keterbatasan sarana prasarana, hingga disparitas kualitas pendidikan antarwilayah," ujar Sabam.
Menurutnya, keberadaan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) menjadi bukti nyata bahwa akses dan kualitas pendidikan belum merata. Revisi UU Sisdiknas diperlukan untuk memastikan seluruh elemen pendidikan mendapatkan perlakuan yang setara dan proporsional dari negara.
Lebih lanjut, Sabam menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkaitan dengan pembebasan biaya di sekolah swasta sebagai momentum penting untuk mengkaji ulang struktur pembiayaan pendidikan nasional.
“Keputusan MK ini menjadi berkah tersendiri. Tapi ini berarti kita juga harus melakukan rekonstruksi anggaran, karena ada mandatory spending dalam UU yang menyebut alokasi 20% anggaran pendidikan, namun implementasinya masih timpang,” tegasnya.
Sabam membeberkan temuan Komisi X dalam Panitia Kerja (Panja) RUU Sisdiknas dan Panja PPKN yang menunjukkan ketimpangan alokasi anggaran pendidikan. Ia menyebut bahwa pembiayaan pendidikan di sejumlah kementerian non-teknis justru jauh lebih besar dibanding alokasi di kementerian teknis, seperti Kemendikbudristek.
“Dalam beberapa kasus, biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk satu mahasiswa di lembaga tertentu bisa mencapai 13 sampai 14 kali lipat lebih besar dibandingkan mahasiswa di PTN atau PTS,” ujarnya.
Ia mempertanyakan efektivitas lembaga non-teknis yang masih menyelenggarakan program studi serupa dengan yang telah tersedia di PTN dan PTS. Sebagai contoh, keberadaan Poltekkes di bawah Kementerian Kesehatan dinilai tumpang tindih karena program serupa telah disediakan oleh banyak kampus negeri maupun swasta di berbagai provinsi.
"Apakah masih diperlukan lembaga-lembaga seperti itu, jika kita sudah punya institusi pendidikan tinggi yang memadai? Ini harus menjadi bahan evaluasi dalam pembahasan revisi UU Sisdiknas," tambahnya.
Sabam juga menyambut positif program prioritas Presiden Prabowo Subianto terkait makan bergizi gratis di sekolah. Ia menilai kebijakan ini bisa menjadi langkah strategis untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan, sekaligus menekan angka stunting nasional.
"Program makan bergizi gratis yang menyasar SD, SMP, dan SMA ini sangat baik. Kita perlu merancang instrumen pengawasan keberhasilannya, bisa melalui revitalisasi program UKS misalnya," ujar Sabam.
Menurutnya, keberhasilan program ini juga bisa menjadi indikator efektivitas kebijakan pendidikan nasional, terutama dalam aspek kesehatan dan kesejahteraan siswa.
Sabam menegaskan bahwa semua masukan dan evaluasi akan menjadi bagian penting dalam pembahasan revisi UU Sisdiknas ke depan. "Kita harus memastikan bahwa sistem pendidikan kita bukan hanya terjangkau, tapi juga adil, merata, dan relevan dengan kebutuhan masa kini dan masa depan," pungkasnya.