JAKARTA - Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Melchias Markus Mekeng menegaskan bahwa pendidikan adalah jantung dari peradaban bangsa. Menurutnya, sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada bangsa yang maju tanpa menjadikan pendidikan sebagai prioritas dalam kebijakan nasional.
Hal itu disampaikan Mekeng dalam acara Sarasehan Nasional Fraksi Partai Golkar MPR RI bertajuk "Merumuskan Kembali Anggaran Pendidikan Guna Mewujudkan Amanat Konstitusi Menuju Indonesia Emas 2045", yang digelar di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (8/8/2025).
“Pendidikan bukan hanya alat untuk mencetak tenaga kerja, tetapi adalah proses memanusiakan manusia, membentuk karakter, mengasah daya nalar, dan menumbuhkan kepekaan sosial,” ujar Mekeng di hadapan peserta sarasehan.
Dalam paparannya, Mekeng menyoroti berbagai tantangan dunia pendidikan saat ini. Ia mempertanyakan apakah sistem pendidikan di Indonesia sudah adil dan merata, serta apakah setiap anak Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, sudah memiliki hak yang sama untuk bermimpi dan belajar.
“Yang lebih penting lagi, apakah anggaran pendidikan yang dialokasikan benar-benar menjawab kebutuhan anak-anak bangsa dan tantangan zaman?” katanya.
Politisi senior Golkar itu juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi pendidikan di daerah pemilihannya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menceritakan masih adanya guru honorer yang digaji Rp250 ribu per bulan, bahkan dengan tunggakan selama sembilan bulan.
“Saat saya turun ke daerah untuk sosialisasi Empat Pilar, hampir semua keluhan masyarakat berkutat di masalah pendidikan. Sarana prasarana buruk, jumlah guru terbatas, bahkan ada sekolah dengan 500 siswa yang tidak punya toilet,” ungkap Mekeng.
Ia pun mengkritik komposisi anggaran pendidikan nasional yang menurutnya belum mencerminkan keadilan. Dari total anggaran pendidikan sebesar Rp724 triliun di tahun 2025, hanya sekitar Rp91,4 triliun yang dialokasikan untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sementara itu, anggaran kedinasan justru mencapai Rp104,5 triliun untuk hanya sekitar 13 ribu orang.
“Apakah ini adil? 64 juta siswa hanya mendapat Rp91,4 triliun, sementara 13 ribu orang pegawai kedinasan mendapat lebih dari Rp100 triliun. Padahal konstitusi jelas mengamanatkan 20% anggaran dari APBN dan APBD untuk pendidikan,” tegasnya.
Mekeng juga menyinggung fakta bahwa sebagian besar dana pendidikan disalurkan lewat mekanisme transfer daerah, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang belum tentu fokus pada sektor pendidikan.
“Saya bersyukur Presiden Prabowo memberikan perhatian pada pendidikan, termasuk dengan program Sekolah Rakyat. Tapi saya tegaskan, sekolah-sekolah swasta juga harus diperhatikan, karena mereka ikut memikul beban mendidik generasi bangsa,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan data mencemaskan: hanya 4,8% warga Indonesia yang menamatkan pendidikan hingga S1-S3, sementara 22% hanya lulusan SD dan 24% lainnya bahkan tidak bersekolah.
“Kalau kita tidak bergerak sekarang, jangan harap kita bisa wujudkan Indonesia Emas 2045. Yang ada justru Indonesia Cemas,” tutup Mekeng.