Jakarta - Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN melalui Direktorat Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang menggelar Focus Group Discussion (FGD) mengenai penerapan asas berjenjang dan komplementer serta penyamaan interpretasi muatan rencana tata ruang dalam penilaian Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), Jumat (19/9/2025) di Ruang Rapat Prambanan, Gedung Ditjen Tata Ruang.
Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Tata Ruang, Suyus Windayana, menekankan pentingnya keselarasan substansi RDTR dengan RTR di atasnya agar tidak terjadi kerancuan. Menurutnya, langkah ini sekaligus menjadi upaya mengoptimalkan layanan penerbitan KKPR.
“Optimalisasi layanan penerbitan KKPR bertujuan memberikan kepastian berusaha dan nonberusaha, baik bagi pelaku usaha maupun masyarakat, serta meningkatkan kualitas pelayanan tata ruang bagi seluruh pemangku kepentingan,” ujarnya.
Direktur Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang, Prasetyo Wiranto, menambahkan bahwa penilaian KKPR berlandaskan asas berjenjang dan komplementer sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2023, PP No. 21 Tahun 2021, dan Permen ATR/BPN No. 13 Tahun 2021. Persetujuan KKPR, jelasnya, diberikan setelah dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dikaji dengan mengacu pada berbagai tingkatan rencana tata ruang, mulai dari RTRW kabupaten/kota, RTRW provinsi, hingga RTRWN.
Diskusi menghadirkan sejumlah akademisi. Maret Priyanta dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menilai asas berjenjang dan komplementer sesungguhnya dapat diterapkan pada seluruh instrumen penataan ruang, baik perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian.
Namun ia menekankan, khusus dalam penerbitan KKPR, penerapan asas tersebut harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian demi menjamin kepastian hukum dan kejelasan kewenangan.
Sementara itu, RM. Petrus Natalivan Indradjati dari Institut Teknologi Bandung menyampaikan bahwa muatan rencana tata ruang mikro tidak boleh bertentangan dengan rencana tata ruang makro. Menurutnya, rencana yang lebih detail memiliki basis data yang lebih akurat sehingga lebih layak dijadikan acuan.
Ia mencontohkan perbedaan delineasi antara RTRW kabupaten/kota dengan RTRW provinsi yang sebaiknya menjadikan RTRW kabupaten/kota sebagai rujukan karena memiliki skala lebih besar.
Dari perspektif hukum tata kelola, akademisi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, menyoroti pentingnya penggunaan diskresi dalam kondisi ketidakjelasan yang berpotensi menghambat pengambilan keputusan. Ia menegaskan diskresi harus digunakan secara hati-hati dengan alasan objektif, beritikad baik, dan mengutamakan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 dan UU No. 6 Tahun 2023.
FGD ini turut dihadiri oleh Sekretaris Ditjen Tata Ruang Reny Windyawati, jajaran direktur bina perencanaan tata ruang daerah wilayah, penata ruang ahli utama, serta pejabat struktural di lingkungan Direktorat Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang.