Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Ketua MPR RI: Hak Prerogatif Presiden, Tak Ada Hambatan Konstitusi

Kiki Apriyansyah | Jumat, 07 November 2025 - 18:02 WIB


Isu pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali memicu perdebatan publik. Menanggapi hal itu, Ketua MPR RI Ahmad Muzani menyebut tidak ada hambatan konstitusional bagi pemerintah untuk memberikan penghargaan tersebut, karena penetapan pahlawan merupakan hak prerogatif Presiden.
Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : ketua MPR RI Ahmad Muzani

JAKARTA - Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali menjadi sorotan publik. Ketua MPR RI Ahmad Muzani menegaskan bahwa keputusan tersebut sepenuhnya merupakan hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara.

“Sebagai kepala negara, presiden berhak memberi gelar kepada setiap warga negara yang dianggap memiliki jasa atau kontribusi terhadap bangsa dan negara. Gelar tertinggi di antaranya adalah pahlawan nasional,” ujar Muzani kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (7/11/2025).

Menurut Muzani, proses penetapan seseorang menjadi pahlawan nasional melalui tahapan yang ketat dan biasanya diajukan dari bawah, seperti dari daerah, perguruan tinggi, atau organisasi kemasyarakatan. Setelah proses seleksi dilakukan oleh Dewan Gelar, presiden memutuskan siapa yang layak menerima penghargaan tersebut.

Menanggapi isu pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, Muzani menyebut MPR pada periode sebelumnya sudah pernah memberikan pernyataan resmi terkait hal itu.

“MPR telah menulis surat yang pada intinya mempersilakan pemerintah memberikan penghargaan kepada mantan Presiden Soeharto, karena beliau dianggap telah selesai menjalani proses hukum baik pidana maupun perdata, serta memiliki jasa besar bagi bangsa,” jelasnya.

Muzani menambahkan, MPR memandang tidak ada hambatan konstitusional bagi pemerintah untuk memberikan gelar tersebut. Ia menyebut langkah tersebut bisa menjadi bagian dari rekonsiliasi nasional dan penghormatan terhadap jasa para pemimpin bangsa.

“Baik pidana maupun perdata, Pak Harto dianggap telah menjalani proses itu dan dinyatakan layak mendapat gelar atas jasa-jasanya untuk rekonsiliasi, kebersamaan, dan persatuan bangsa,” ujarnya.

Selain Soeharto, MPR juga pernah menyatakan bahwa TAP MPR tentang dugaan keterlibatan Bung Karno dan Abdurrahman Wahid tidak lagi berlaku. Hal itu dilakukan sebagai upaya menjaga persatuan dan rekonsiliasi nasional.

“Semua itu dilakukan terhadap tiga mantan presiden Bung Karno, Pak Harto, dan Abdurrahman Wahid sebagai bagian dari cara MPR menjaga kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara,” kata Muzani.

Menanggapi usulan agar setiap presiden Indonesia diberi gelar pahlawan nasional, Muzani menilai hal tersebut bisa menjadi tradisi baik sebagai bentuk penghargaan kepada para pemimpin bangsa.

“Itu hak prerogatif Presiden. Menurut saya, itu tradisi baik dari junior kepada senior. Cara Indonesia menghargai para pemimpinnya. Tentu saja, kekurangannya kita tahu, tapi tradisi mikul dhuwur mendhem jero harus kita jaga,” pungkasnya.

Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto terus memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian pihak menilai jasa Soeharto besar dalam pembangunan dan stabilitas nasional, sementara sebagian lain masih mengingat sisi kelam pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi di masa pemerintahannya.

Baca Juga