Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly.

Kita Perbaiki Kekurangan dari Waktu ke Waktu

Yapto Prahasta Kesuma | Jumat, 10 Desember 2021 - 16:24 WIB

Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly. (kemenkumham.go.id)

Jakarta - Tak banyak nama menteri di kabinet Presiden Joko Widodo yang kerap diminta mengundurkan diri dari jabatan yang disandangnya. Yasonna H. Laoly satu diantaranya. Mulai dari politikus, hingga mahasiswa kerap menyebut namanya, baik di periode pertama atau periode kedua (2019-2024).

Hanya saja, Presiden Joko Widodo tetap percaya pada Guru Besar Ilmu Kriminologi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) ini ketimbang memenuhi desakan tersebut.

Bagi Yasonna, kritikan merupakan hal yang biasa dalam ruang demokrasi. Pria kelahiran Sorkam, Tapanuli Tengah ini mengatakan tak ada seorang pun yang kebal dari sasaran kritikan, meski diyakini memiliki kinerja yang baik dan profesional.

"Siapa di pejabat di negeri ini yang tak di tuntut untuk mundur. Jangankan seorang Yasonna, Presiden Joko Widodo sekalipun kerap di minta mundur walaupun sudah begitu banyak menoreh citra positif dalam membangu negara ini," kata Yasonna yang pernah berjualan koran saat menempuh pendidikan di Amerika Serikat ini.

Banyak hal yang disampaikan Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan ini. Berikut petikan wawancaranya :

Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja. Aturan pelaksana baru atas undang-undang sapu jagat ini dilarang untuk diterbitkan. Bagaimana pendapat Bapak ?

MK membuat keputusan undang-undang tersebut inskonstitusional bersyarat, masih ada ruang perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun oleh DPR dan Pemerintah sejak putusan dibacakan. Saya yakin Pemerintah dan DPR mampu merevisi Undang-Undang Cipta Kerja dengan cepat, kurang dari dua tahun seperti perintah MK. Pemerintah menghormati dan akan mematuhi putusan MK tersebut.

Seiring dengan melandainya Covid-19, Imigrasi mulai membuka pintu-pintu perbatasan untuk masuknya orang asing. Namun kantor wilayah dan unit pelaksana teknis yang menjadi perlintasan orang asing tetap harus memperketat protokol kesehatan (Prokes) ?

Ya, hal ini dilakukan agar Indonesia tidak lengah dan mencegah masuknya varian-varian baru dari Covid-19 yang terus bermutasi. Kita tahu, menurut WHO ada 10 varian baru virus corona hasil mutasi, yang terbaru WHO menetapkan varian baru Covid-19 Omicron menjadi variant of concern (VoC).

Poin pentingnya adalah pengetatan Prokes khususnya bagi Kantor Wilayah (Kanwil) yang tempat pemeriksaan Imigrasinya dibuka sebagai pintu masuk kedatangan internasional atau perlintasan negara.

Belum lama ini Bapak berkunjung ke Amerika selama seminggu. Bisa dijelaskan kunjungan ke negeri Paman Sam tersebut ?

Kita harus ingat ada sekitar 3 juta diaspora Warga Negara Indonesia (WNI) disana. Mereka terdiri WNI, anak dari WNI, eks WNI dan anak dari eks WNI. Sebagian di antara mereka telah memiliki status kewarganegaraan tetap, sebagian lagi belum. Kurangnya informasi terkait pelayanan kewarganegaraan menjadikan beberapa di antara diaspora kesulitan memperoleh status kewarganegaraan Indonesia padahal mereka menginginkannya.

Selama seminggu saya mengunjungi Amerika untuk mensosialisasikan pelayanan kewarganegaraan. Sosialisasi ini penting dilakukan secara langsung agar masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri dapat memperoleh informasi dari sumber utama.

Pemerintah memiliki kewajiban memberikan pelayanan dan perlindungan penuh kepada setiap WNI dalam keadaan apapun, baik di dalam maupun luar negeri.

Bapak juga berkunjung ke UCLA ?

Ya, dengan University of California (UCLA), membahas kemungkinan kerja sama antara Kemenkumham dan UCLA. Kita tahu UCLA merupakan salah satu universitas bergengsi di Amerika Serikat, dan telah banyak meraih berbagai penghargaan. Dengan adanya kerja sama antara Kemenkumham dengan UCLA, diharapkan dapat meningkatkan kapasitas Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Kemenkumham.

Bagaimana Bapak melihat posisi dan peran Kemenkumham dalam dunia yang berubah begitu cepat akibat teknologi informasi ?

Kita sebagai masyarakat global barangkali tidak bisa menolak perubahan yang begitu cepat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak ada lagi tawar-menawar untuk itu, karena kita berhadapan langsung dengan masyarakat yang juga tengah berubah dan menuntut adanya perubahan.

Kalau era 70an atau 90an, mungkin orang bisa sabar bila mengurus sesuatu, itu membutuhkan waktu dan harus bolak-balik ke suatu instasi pemerintah. Kini lambat sedikit saja atau kalau ada macam-macamnya bisa langsung viral di media sosial. Ini memberikan tekanan yang sangat berat kalau mindset kita yang dipemerintahan baik pusat maupun daerah masih memakai pola pikir yang lama. Akan sangat berat sekali menghadapi masyarakat yang dalam tanda kutip cerewet dan dikit-dikit menyebarkan kekecewaannya di media sosial.

Termasuk mudah menuntut pejabat untuk mundur ?

Termasuk itu (Yasono tertawa)

Dan, Bapak langganan untuk dituntut mundur ?

Ya mau bagaimana lagi (sambil mengangkat bahu), siapa lah Yasonna ini. Jangankan Yasonna, Presiden Joko Widodo yang sudah bekerja mati-matian dalam membangun negeri ini hingga melahirkan apresiasi yang begitu besar dari begitu banyak kepala negara, tetap saja dengan ringan diminta untuk mundur dari jabatannya.

Siapa yang bisa menggaransi 270 jutaan penduduk Indonesia semuanya puas. Kita menyadari pasti ada kekurangannya, nah kekurangan ini yang terus kita perbaiki dari waktu ke waktu.

Darimana kita tahu adanya kekurangan, tentu dari kritikan yang muncul. Maka saya kerap mengatakan ke seluruh jajaran Kemenkumham untuk tidak bersifat defensif terhadap kritikan masyarakat.

Kritik-kritikan  itu sebagai koreksi, jangan defensif. Berbagai direktorat jenderal, pelayanan di kantor-kantor wilayah maupun di UPT kita sering mendapat kritik, ada kelengahan, ada kesengajaan. Bagi yang sengaja kita akan sanksi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kita ini diawasi langsung bukan saja oleh lembaga-lembaga pengawasan, tapi langsung oleh rakyat dan ini jauh lebih berat hukumannya.

Berarti ada pesan Pemerintah yang tidak sampai kepada masyarakat ?

Kita sudah bicara revolusi 4.0 dan bahkan sudah berpikir revolusi 5.0 yang berarti jendela dunia ini sudah begitu terbuka. Tidak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi. Apa yang terjadi di kampung saya di Nias sana bisa real-time diketahui tidak saja oleh masyarakat di Papua, tapi juga masyarakat di berbagai belahan dunia.

Saat ini masyarakat tidak hanya menyaksikan, tapi juga merasakan langsung perubahan besar yang tengah terjadi di negara ini. Masyarakat juga merasakan langsung kehadiran serta peran negara melindungi semua orang, khsusunya saat pandemi Covid-19.

Atau, bicara Kemenkumham khusunya, bagaimana beragam terobosan yang kita lakukan dengan membangun ratusan aplikasi layanan publik berbasis digital. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi bagaimana kinerja jajaran Kemenkumham memberikan manfaat yang langsung dirasakan masyarakat, mampu bermanfaat bagi masyarakat, sehingga terwujud Kemenkumham yang Semakin PASTI (Profesional, Akuntabel, Sinergi, Transparan, dan Inovatif).

Kita juga kerap mengingatkan seluruh jajarannya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia hingga luar negeri untuk merapatkan barisan bersama-sama melayani masyarakat dengan baik. Bersama-sama memacu kinerja agar Kemenkumham menjadi kementerian yang dapat memberikan kontribusi yang terbaik bagi bangsa dan negara.

Bagaimana kondisi penjara di Indonesia saat ini, terutama paska terjadinya kebakaran yang merenggut nyawa di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas 1 Tangerang, Banten, 8 September 2021 yang lalu ?

Saya mau bicara soal kondisi Lapas secara keseluruhan. Untuk diketahui banyak Lapas di Indonesia itu dibangun tahun 70-an dan 80-an, Lapas Kelas 1 Tangerang itu dibangun tahun 1972 artinya secara usia sudah 49 tahun dan kondisinya sangat rentan over capacity (menampung narapidana yang melebihi kapasitasnya).

Lebih dari 200 ribu narapidana atau warga binaan itu separuhnya 50 persennya itu kasus narkoba. Bayangkan, satu kejahatan mendominasi 50 persen, sisanya kejahatan lain yang jumlahnya sedikit-sedikit. Ini sesuatu yang sangat aneh, satu jenis crime mendominasi 50 persen lebih dari isi Lapas.

Baru digabung yang korupsi, digabung penganiayaan, digabung pembunuhan, digabung pemerkosaan. Kalaupun semua jenis kejahatan itu digabung  tetap kalah dengan satu jenis kejahatan (narkoba).

Ini sudah dibahas antar kementerian atau masih secara internal ?

Saya sudah bertemu dengan Menko Polhukam Mahfud MD dan berdiskusi soal perlu atau tidaknya revisi UU Narkotika ini. Masalah inipun sudah saya sampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

Namun wajib dipahami masalah revisi UU Narkoba tidak saja berada di kita, tapi domainnya DPR. Kita hanya mengajukan usulan dengan alasan ini mutlak untuk segera dicarikan jalan keluarnya. Kalau tidak, kita tidak akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan lembaga pemasyarakatan.

Solusinya ?

Undang-Undang Narkotika harus diubah, ada beberapa pasal. Sebetulnya pemerintah sudah terus-terus ingin melakukan itu dan sedikit ada perbedaan di kalangan institusi Pemerintah.

Sampai berapa persen over kapasitas di Lapas atau di Rutan ?

Jumlah narapidana yang menghuni seluruh fasilitas Rutan dan Lapas (semua kelas) di Indonesia berjumlah sekitar 252-an ribu. Jumlah ini hampir 60% melebihi kapasitas tempat penampungan narapidana yang idelanya hanya bisa menampung 170-an ribu narapidana. Artinya, ada over capacity, bahkan bisa mencapai 300% di beberapa tempat yang ada di Indonesia.

Bagaimana dengan jumlah sipir ?

Kalau mau bicara ideal, satu petugas menjaga 25 orang narapidana. Bahkan bukan hal aneh jika ada satu Lapas besar isinya sampai 3.000 narapidana tapi pengawasnya hanya 17 orang. Jumlah ruang yang terbatas lalu diisi dengan jumlah yang berlebihan tentu melahirkan aggressive behavior. Ini tidak saja terjadi di Indonesia, tapi di banyak penjara dunia yang mengalami kelebihan kapasitas.

Sebelum 2017 ada keputusan untuk zero growth untuk penambahan sipir penjara dan baru di 2017 ada penambahan besar-besaran sipir Lapas jumlahnya mencapai 14 ribu orang.

Ini kita bicara tentang manusia yang tidak baik, dikirim ke kita untuk dilakukan pembinaan. Akan tetapi, kapasitas untuk menampung mereka tidak mencukupi. Karena semua jenis kejahatan bahkan sampai yang ringan sekalipun dikirim ke Lapas.

Artinya tidak semua tindak kejahatan dikirim ke Lapas ?

Saya maunya begitu. Cukuplah yang pidana ringan dengan masa tahanan 1 tahun penjara itu dikenakan hukuman kerja sosial. Pengguna narkotika itu masuk rehabilitasi, setelah itu wajib kerja sosial. Ini akan jauh mengurangi banyak hal, tidak saja soal tingkat keterisian, tapi juga besarnya anggaran yang disediakan dan pemenuhan fasilitas dasar bagi para narapidana hingga mereduksi tingkat agresifitas.

Kalau hal ini tidak dilakukan, maka sebesar dan sebanyak apapun ruang penjara yang dibangun tidak akan pernah mencukupi selama jumlah orang yang dimasukkan sangat tinggi.

Ini harus ada keberanian kita untuk mengubah pola pendekatan dari memenjarakan menjadi hukum kerja sosial atau bentuk lainnya.

Soal over capacity kan juga terjadi di Lapas untuk teroris. Bagaimana Kemenkumham memecahkan masalah ini ?

Pemerintah akan membangun tiga gedung Lapas baru khusus narapidana terorisme di Nusakambangan, Jawa Tengah.
Saya optimistis Polri dapat menjalankan tugasnya dengan baik dalam rangka menjaga keamanan masyarakat dan negara dari terorisme. Karena itu Pemerintah mendukungnya dengan membangun fasilitas penunjang seperti Lapas khusus teroris.

Keberadaan Lapas khusus terorisme sangat penting, sebab narapidana teroris tak bisa dicampur dengan narapidana yang lain.  Karena itu akan kita kirim ke Nusakambangan, disana ada Lapas Pasir Putih, Lapas Karanganyar, Lapas Batu untuk Narkotika. Nanti ada Lapas maksimum dan super maksimum. Narapidana teroris yang sudah dibina, akan kita pindah ke Lapas yang medium.