Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto

Kita Mau Levelnya Lebih Targeted

Yapto Prahasta Kesuma | Jumat, 04 September 2020 - 08:05 WIB

Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto.

Jakarta - Airlangga Hartarto dipercaya menjadi Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Bagaimana gerak langkahnya ke depan dijelaskan kepada wartawan Majalah FIVE yang berkunjung ke kediamannya di Jalan Tirtayasa, Jakarta Selatan. Banyak hal yang diceritakan Ketua Umum Partai Golkar ini. Intinya, Komite yang dibentuk Presiden Joko Widodo ini akan bekerja dengan tetap mengedepankan kesehatan dan menjamin aktivitas ekonomi tetap berjalan. Berikut petikan wawancaranya :

 
Bisa Bapak jelaskan, apa saja program Pemerintah dalam Penanganan Covid-19 dan PEN ini ?

Kalau bicara program pemerintah tentu kita akan mengoptimalkan anggaran Covid-19 yang sudah dialokasikan untuk kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun. Kita melihat memang di awal penyerapannya belum optimal, itu harus dioptimalkan. Untuk perlindungan sosial juga telah dialokasikan Rp 203,90 triliun, bantuan sosialnya kita dorong sampai Desember 2020 dan nanti setelah bulan Juli 2020 arah bantuan sosialnya berupa uang tunai atau cash. Kemudian insentif usaha Rp 120,61 triliun, pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp 106,11 triliun.

Sektor UMKM ?

Untuk UMKM telah dialokasikan Rp 123,46 triliun, dan UMKM ini terus kita dorong agar berkembang, karena UMKM menjadi prioritas di tahun ini. Selain itu, pemerintah juga sudah melakukan penempatan dana sebesar Rp 30 triliun di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), rinciannya di Bank Mandiri dan BRI masing-masing sebesar Rp 10 triliun, lalu BNI serta BTN sebanyak Rp 5 triliun, pemerintah menempatkan penjaminan di beberapa bank, baik itu melalui Asprindo dan Jamkrindo dan ditambah lagi memberi jaminan bukan hanya usaha kecil menengah, tapi sudah mulai ke korporasi. Korporasi itu dari Rp 10 miliar sampai Rp 1 triliun. Pemerintah juga memberikan sistem penjaminan, jadi skin korporasi itu adalah skin penjaminan yang besarnya sampai Rp 100 triliun.

Dari perbankan, pihak mana saja yang dilibatkan dalam pemulihan ekonomi nasional ?

Dari perbankan bukan hanya Himbara saja yang dilibatkan, tapi swasta juga termasuk perbankan nasional. Tentu Diharapkan dengan banyaknya stimulan yang didorong sektor ekonomi bisa berjalan sehingga mengurangi pengangguran ataupun PHK.

Bagaimana dengan vaksin dari Covid-19 ini ?

Mengenai vaksin, Bio Farma bersama Sinovac saat ini memasuki uji klinis fase 3. Diharapkan dalam tiga bulan ke depan sudah ada indikator hasilnya. Tapi kita ketahui bahwa uji klinis vaksin itu kan sukses kreditnya tidak 100 persen. Sehingga pemerintah melihat perlu multiple strategi, tidak tergantung pada satu sumber saja. Karena itu pemerintah mendorong lembaga lain untuk mengembangkan vaksin Covid-19, seperti kolaborasi internasional yang dilakukan Bio Farma dengan Sinovac serta Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), kemudian konsorsium riset dan inovasi Covid-19 yang melibatkan lembaga Eijkman, dimana Eijkman akan mengirimkan prototipe kandidat vaksin Merah Putih ke Bio Farma lalu Bio Farma yang akan melanjutkan pengembangan hingga memproduksinya. Adalagi perusahaan swasta Kalbe Farma bekerjasama dengan Genexine dari Korea Selatan dan Bio Farma bekerjasama dengan Sinopharm. Jadi ada beberapa skema pengembangan vaksin, tapi kita melihat mana yang memberikan hasil positif bagi Indonesia.

Kemampuan produksi vaksinnya bagaimana ?

Bio Farma memiliki kapasitas produksi awal 100 juta dosis per tahun. Dan Bio Farma saat ini sedang menyiapkan fasilitas produksi tambahan sebesar 150 juta dosis. Fasilitas produksi tambahan ini akan siap pada Desember 2020, dari rencana semula awal tahun 2021. Jadi Bio Farma bisa memproduksi 250 juta dosis per tahun. Tinggal sekarang bagaimana meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga vaksinasi itu bisa dilakukan. Jadi pertama mendapatkan teknologi vaksin, pengembangan vaksin, distribusi vaksin dan bagaimana memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk vaksinasi.

Menurut Bapak, berapa banyak masyarakat Indonesia yang harus di vaksin ?

Berdasarkan data yang ada, jumlah masyarakat berbasis herd immunity itu dua pertiga penduduk Indonesia yang harus di vaksin. Tentu kita mengurangi dua pertiga itu terhadap mereka yang di bawah usia 18 tahun, karena biasanya usia muda mempunyai imunitas. Lalu mereka yang mempunyai penyakit bawaan atau komorbid yang berkisar di atas umur 60 tahun. Jadi jumlahnya sekitar 120 juta orang yang harus di suntik vaksin. Tapi biasanya vaksinasi itu kan enggak mungkin 1 dosis per orang, bisa 2 dosis per orang, jadi dibutuhkan 240 juta dosis. Nah, ini pemerintah harus membuat planning, bagaimana caranya melakukan vaksinasi, apakah nanti prioritas di daerah-daerah yang terkena zona merah atau ada planning lain.

Dalam satu kesempatan Bapak pernah mengatakan ‘seluruh program dan kebijakan penangangan Covid-19 dan PEN harus dilakukan terstruktur, terkoordinasi dan terintegrasi ke dalam satu lembaga’. Bisa dijelaskan ?

Seluruh program penanganan Covid ini berbasis program anggaran pemerintah, jadi tentu terstruktur dalam perencanaan dan juga sinkronisasi dari semua Kementerian/Lembaga dan tentunya pemerintah sudah punya prioritas. Diharapkan di koordinasi Satgas Covid ini seluruh data bisa termonitor, langkah-langkah baik di pusat dan pemerintah daerah terkoordinasi sehingga bisa buka-tutup antara semua pihak, tetapi kita mau levelnya lebih targeted. Kalau melihat peta skala provinsi kan terlalu besar, jadi skalanya harus lebih kecil lagi, kabupaten lebih mikro lagi apakah itu berbasis kecamatan atau kelurahan. Sehingga betul-betul datanya dimonitor secara mikro. Tentu dibentuknya Komite ini oleh Bapak Presiden agar gas dan remnya bisa sinkron, kalau digas dan direm berbarengan itu kan mesinnya jadi panas, bensin boros, suara berisik, polusi, boros BBM tapi kendaraan tidak maju. Karena itu kita ingin terstruktur, terkoordinasi dan terintegrasi.

Paket kebijakan dan program apa yang akan dilakukan Pemerintah untuk mengembalikan track pertumbuhan ekonomi nasional ?

Ya tentu pemerintah melihat bahwa pertumbuhan itu harus ditangani secara multiyear. Jadi pemerintah melihat di tahun ini 6,4 persen, tahun depan mungkin defisitnya seperti arahan Bapak Presiden di 5,2 persen, kemudian nanti di tahun 2022 dilihat lagi. Tetapi pemerintah melihat bahwa apa yang harus dilakukan itu sifatnya lebih dari beyond 2020.

Artinya di tahun 2021 ini masih dalam situasi pandemi Covid-19 ya ?

Iya, karena itu misalnya kebijakan-kebijakan relaksasi perbankan untuk regulasi Peraturan OJK sebaiknya tidak hanya berlaku sampai April atau Maret 2021 tetapi sampai 2022. Sehingga orang bisa membuat perencanaan budgeting dan lainnya untuk jangka panjang. Kemudian relaksasi bantuan KUR atau yang di bawah KUR. Mungkin yang dibawa KUR subsidinya jangan sampai terlihat lebih sedikit daripada untuk KUR. Karena kalau KUR sekarang kita beri bantuan 6 persen dan 3 persen, nah itu sebaiknya minimal sama dengan yang dibawah Rp 10 juta. Sekarang kan mereka kita gratiskan, jadi seluruhnya diserap. Jadi kalau tahun depan mereka setengah di subsidi ya bawahnya juga harus sama.

Presiden mengatakan pemulihan ekonomi dan kesehatan harus seimbang. Bagaimana Bapak melihatnya ?

Ya memang kita melihat bahwa menyelamatkan hidup dan kehidupan itu sebagai sesuatu yang kita tidak bisa pisahkan. Untuk kehidupan kita perlu kesehatan, tetapi untuk kehidupan kita juga perlu pekerjaan, jadi antara kesehatan dan kerja ini harus jalan bersama-sama. Sehat enggak bekerja ya enggak bagus juga, enggak sehat ya enggak bisa kerja, jadi itu semua harus balanced.

Selama pandemi banyak dunia bisnis yang lesu, namun juga ada yang untung. Bagaimana Komite melihatnya ?

Untuk meringankan beban dari lesunya dunia usaha pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan memberikan subsidi listrik sebesar Rp 3 triliun di tiga sektor yaitu sosial, bisnis dan industri. Jumlah pelanggan di bidang sosial ada 112.223 pelanggan, bisnis 330.653 pelanggan dan industri sebesar 28.886 pelanggan. Jadi nanti pelanggan hanya membayar sesuai dengan pemakaian riil saja. Selisih dari rekening minimum atau jam nyala minimum terhadap rekening realisasi pemakaian serta biaya beban menjadi stimulus yang dibayar pemerintah. Ini berlaku sejak rekening Juli-Desember 2020.

Menurut Bapak apakah Indonesia bisa aman dari ancaman resesi perekonomian?

Kalau kita bicara resesi kan kita bicara mengenai pertumbuhan yang negatif. Kita lihat bahwa beberapa negara di Asia sudah mendapatkan pertumbuhan negatif seperti India, Singapura dan beberapa negara lain. Tentu kita melihat Indonesia dibandingkan negara lain misalnya India, minus 20 kita ini minusnya diperkirakan 4,3 atau 4,8 jadi jauh lebih rendah daripada negara-negara lain. Yang paling penting buat kita adalah trennya, tren positif. Nah, tren positif itu kita lihat kalau kita di kuartal ketiga ini kira-kira minus 1 sampai 0,5 atau 0,25 ini sudah suatu hal yang bagus, berarti kita sudah mencapai bottom. Tapi kalau berdasarkan data kredit bulan Juli 2020 beberapa sektor sudah naik.

Bagaimana komentar Bapak dari pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di DPR ?

Kami berharap pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja di bulan Agustus ini bisa selesai. Kita melihat sebagian besar critical issue nya sudah ada titik komprominya juga klaster ketenagakerjaan. Kalau ini bisa diselesaikan maka tugas dari Komite yang diarahkan Bapak Presiden bukan hanya pemulihan, tetapi juga transformasi ekonomi. Kalau transformasi kan kita berpindah dari posisi sekarang ke posisi berikut, kalau pemulihan kan sembuh saja, sembuh bisa sakit lagi, tapi kalau kita bertransformasi itu berarti berubah. Kalau dalam konteks ekonomi berubah dengan digitalisasi, karena digitalisasi seperti Industri 4.0, kemudian e-commerce telemedicine, tele-education, e-government, itu semuanya terakselerasi oleh pandemic Covid dengan work from home.

Artinya ?

Artinya pasca Covid ini kebiasaan kita tidak akan kembali seperti semula, tetapi banyak hal yang akan berubah, cara kita hidup berubah, ya tentu sebelum ditemukannya vaksin harus jaga jarak, pakai masker, sering cuci tangan dan kalau tidak perlu tidak perlu nongkrong, kan gitu. Jadi ini akan berubah, pola hidup akan berubah menjadi new normal dan tentu itu akselerasi, buat kita yang penting adalah potensi digitalisasi ini di kita besar. Berdasarkan penelitian sampai tahun 2025 potensinya itu ada sebesar 125 miliar USD. Di ASEAN sendiri 150 miliar USD, tentu dengan potensi yang ada ini kesempatan bagi Indonesia untuk melompat. Salah satu akseleratornya kalau kita bilang ada gas nah tentu fuellnya untuk gas atau energinya adalah digitalisasi.