Jakarta - Laporan Catatan Tahunan 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut dari total 3602 kekerasan terjadi di ranah publik, sebanyak 58 persen adalah kekerasan seksual meliputi pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, persetubuhan dan sisanya percobaan perkosaan, pelecehan dan persetubuhan, ini meningkat 6 persen dari tahun sebelumnya.
Fenomena ini ditenggarai hanya menjadi puncak gunung es, atau sebagian kecil dari yang terjadi di sesungguhnya di lapisan masyarakat.
Data ini mengemuka dalam Webinar Badan Keahlian DPR RI bertajuk “Bergerak Bersama Mewujudkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual", di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (9/3/2021).
Komnas Perempuan menemukan, sebanyak 35 orang perempuan mengalami kekerasan seksual setiap harinya. Dalam skala internasional, PBB mencatat 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan seksual semasa hidupnya. Rentang 2016-2019 terdapat 55.273 kasus kekerasan yang dilaporkan, dimana 41 persen diantaranya termasuk kekerasan seksual dan sisanya kasus perkosaan.
"Jadi dapat dilihat bahwa Indonesia saat ini sudah berstatus darurat kekerasan seksual. Sering dengan adanya pandemi Covid-19, kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan juga meningkat. UN Women bahkan mengungkap saat kebijakan lockdown diterapkan, korban kekerasan seksual juga terperangkap dirumah. Negara seperti Inggris meningkat 65 persen, termasuk Amerika Serikat juga mengalami peningkatan," kata Sekjen DPR RI, Indra Iskandar saat membacakan keynote speaker Ketua DPR RI Puan Maharani dalam webinar tersebut.
Meski kasus kekerasan seksual banyak dilaporkan, tidak semua kasus tersebut dapat diproses secara hukum. Dari seluruh kasus yang dilaporkan, hanya kurang 30 persen yang dapat diproses secara hukum.
Minimnya proses hukum menunjukkan banyaknya kendala yang dihadapi dalam penegakkan hukum kekerasan seksual. Ditinjau dari segi yuridis, kekerasan seksual diatur dalam beberapa aturan seperti KUHP, UU Penghapusan KDRT, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPO), hingga diatur dalam KUHAP.
Sayangnya aturan yang terdapat dalam undang-undang tersebut belum memadai karena fokus pada aspek pidana dan pemidanaan pelaku, sehingga masih kurang fokus pada pemenuhan hak-hak korban dan pemulihan psikologis korban. Kendala lainnya, terbatasnya definisi kekerasan seksual dalam hukum kita. Dari 15 jenis kekerasan seksual yang sudah diidentifikasi Komnas Perempuan, belum semuanya dapat diproses oleh sistem hukum yang berlaku.
"Dengan demikian jelaslah dari sisi yuridis-normatif, KUHP maupun undang-undang yang telah ada belum sepenuhnya mengakomodasi 15 jenis kekerasan seksual yang terjadi dalam masyarakat. Berdasarkan berbagai argumen tersebut, DPR mendukung adanya undang-undang khusus untuk mengatur mengenai penghapusan kekerasan seksual guna melindungi korban kekerasan seksual," lanjut Indra membacakan pernyataan Puan.
Masuknya RUU Penghapusan Kekerasan (PKS) dalam Prolegnas Prioritas tahun 2021 menunjukkan, DPR tetap berkomitmen mewujudkan undang-undang yang dapat melindungi dan merehabilitasi korban kekerasan seksual, serta mencegah terjadinya kekerasan seksual. DPR tidak mengingkari bahwa UU merupakan produk politik, banyak faktor yang turut menentukan baik internal maupun eksternal dari pihak pemerintah.