Jakarta - Di tengah derasnya arus global, ketika harga pangan dunia melambung, inflasi volatile food menjadi momok dan ketidakpastian menjadi berita harian, Indonesia punya seorang penjaga yang setia berdiri di garis terdepan. Namanya Arief Prasetyo Adi, lelaki kelahiran Palangka Raya, 27 November 1974.
Ia bukan penyair, bukan pula filsuf, tetapi setiap kebijakannya seolah merangkai puisi tentang kehidupan rakyat kecil. Dari memperjuangkan harga petani dan peternak, Gerakan Pangan Murah yang menyapa pasar desa, hingga distribusi beras SPHP yang membuat ibu-ibu lega, Arief memimpin dengan satu keyakinan bahwa pangan adalah hak paling dasar manusia yang harus dijaga.
Arief pernah menekuni ilmu teknik sipil, mempelajari angka dan konstruksi. Namun, jalan hidup membawanya bukan membangun jembatan dari beton, melainkan jembatan keadilan sosial.
Dari Perusahaan Multi Nasional Retail Bisnis seperti Giant, Hero Group, Lotte Shopping Indonesia, Paramount Enterprise, Food Station Tjipinang Jaya BUMD Pangan legendaris Daerah Khusus Jakarta dan Rajawali Nusantara Indonesia (BUMN Holding Pangan) yang dibidaninya, hingga akhirnya dipercaya Presiden untuk memimpin Badan Pangan Nasional yang Pertama dengan langkahnya yang selalu beriring dengan semangat pelayanan.
Gelar Doktor Honoris Causa dari Kyungsung University di Korea Selatan hanyalah simbol. Penghargaan MURI, predikat Tokoh Inspirasi Bangsa, CMO of The Year, Beberapa kali menjadi CEO terbaik saat mengelola BUMD dan BUMN, semua itu sekadar tanda jejak. Karena bagi Arief, penghargaan tertinggi adalah senyum di wajah rakyat yang tak lagi khawatir ketersediaan dan harga Bahan Pakok Strategis.
Ia pernah berkata lirih, “Pangan bukan sekadar logistik, melainkan kehidupan.” Kalimat itu sederhana, namun mengandung janji yang besar, menjaga agar setiap dapur di nusantara tetap mengepul, agar setiap anak negeri tumbuh sehat, aktif dan produktif dengan gizi dan harapan.
Dalam sosok Arief, kita melihat seorang insinyur yang menjelma menjadi arsitek pangan bangsa. Seorang lelaki yang memilih jalan terjal, bukan demi dirinya, melainkan demi meja makan jutaan keluarga Indonesia.
Dan selama api dapur rakyat tetap menyala, namanya akan selalu disebut bukan di panggung penghargaan, melainkan dalam doa sehari-hari orang tua yang melihat anaknya kenyang sebelum tidur.