Yusril Minta Kekalahan Pilpres Dibawa ke MK Bukan Hak Angket

Kiki Apriansyah | Jumat, 23 Februari 2024 - 08:32 WIB


Yusril Ihza Mahendra meminta penyelesaian sengketa hasil pemilu, khususnya pilpres, bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril berpendapat penyelesaian sengketa pemilu bukan dengan menggunakan hak angket DPR.
Pemain Garuda Select, David Maulana Foto : Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra meminta penyelesaian sengketa hasil pemilu, khususnya pilpres, bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril berpendapat penyelesaian sengketa pemilu bukan dengan menggunakan hak angket DPR. Dok: Tim media Yusril Ihza Mahendra

Jakarta -. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra meminta penyelesaian sengketa hasil pemilu, khususnya pilpres, bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril berpendapat penyelesaian sengketa pemilu bukan dengan menggunakan hak angket DPR.

Pakar hukum Universitas Indonesia itu akan memimpin tim pembela calon presiden dan wakil presiden Nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk menghadapi sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi atau MK.

"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril dalam keterangan tertulis pada Kamis, 22 Februari 2024.

Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Keberadaan hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Ketentuan lebih lanjut tentang hak angket tercantum dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014. Menurut undang-undang ini, usulan akan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna yang dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir.

Menurut Yusril, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini pemilu presiden pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.

Mantan Menteri Hukum dan HAM ini mengatakan para perumus amendemen UUD NRI 1945 telah memikirkan cara paling singkat dan efektif menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui MK. Tujuannya, perselisihan segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan agar tidak menimbulkan kevakuman kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.

"Oleh karena itu, saya berpendapat jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan," ujarnya.

Dia menerangkan putusan MK dalam mengadili sengketa pilpres akan menciptakan kepastian hukum, sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian.

"Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," kata Yusril.

Sebelumnya, Ganjar Pranowo mengusulkan hak angket DPR untuk mengusut dugaan kecurangan dalam pemilihan umum atau Pemilu 2024. Usul itu mengemuka seiring pelbagai tudingan kecurangan usai hitung cepat hasil pemilihan presiden atau Pilpres 2024.

Ganjar mengusulkan agar partai pendukungnya yaitu PDIP dan PPP yang ada di parlemen menggulirkan hak angket untuk menyelidiki kecurangan Pemilu 2024.