Jakarta - BRIN selalu terbuka untuk memberikan penjelasan atas berbagai pertanyaan sebagai konsekuensi dari berbagai kebijakan publik yang telah diambil.
Berbagai kebijakan yang diambil di BRIN adalah aksi nyata BRIN untuk melakukan transformasi kelembagaan dan tata kelola riset dan inovasi di Tanah Air secara menyeluruh, serta implementasi revolusi mental untuk mengubah pola pikir dan kerja para periset di Indonesia.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko mengatakan transformasi di kelembagaan dan tata kelola di BRIN adalah yang terbesar dalam sejarah republik ini, dan bahkan telah menjadi model serta tolok ukur baru berbagai lembaga riset di dunia.
“BRIN meyakini upaya ini mendapatkan dukungan dari sebagian besar komunitas periset dan masyarakat
Indonesia,” kata Laksana Tri Handoko (LTH).
Meski begitu, LTH tidak menutup mata jika riset di Indonesia saat ini masih jalan di tempat. Menurut dia, hal itulah
yang menjadi pemikiran dasar dari lahirnya keputusan politik yang besar dari presiden untuk membentuk BRIN.
”Kita harus akui ada sesuatu yang kurang. Selama 50 tahun ini dari tahun 70-an itu, Malaysia bergerak cepat, Thailand juga
bergerak cepat. Tapi sayangnya kita itu seperti jalan di tempat,” ujarnya.
LTH mengatakan, hal itu disebabkan oleh adanya permasalahan fundamental riset, yaitu rendahnya sumber daya manusia (SDM), infrastruktur dan anggaran.
Dia mengatakan, tiga komponen input riset tersebut di Indonesia rendah karena harus tercecer di berbagai lembaga
penelitian dan pengembangan (Litbang). Karena itu BRIN dibentuk untuk memecahkan permasalahan fundamental tersebut.
Dari tiga komponen tadi, kata LTH, SDM berperan paling besar. Hanya saja saat ini jumlah SDM Unggul masih sedikit. Padahal, Indonesia memiliki potensi dengan jumlah SDM yang besar. LTH melihat Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah dalam mencetak SDM Unggul.
”Kita masih punya banyak PR dalam mencetak SDM Unggul. Jadi kita harus memperbanyak percepatan juga untuk
memperbaiki SDM Unggul yang memiliki kapasitas dan kompetensi,” ujarnya.
Banyak hal yang disampaikan pria kelahiran Lawang, Malang, Jawa Timur ini kepada wartawan dan FIVE di Gedung BJ Habibie, Kantor Pusat BRIN, Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.
Selama dua tahun menjabat sebagai Kepala BRIN, apa saja hasil inovasi yang dihasilkan ?
Hasil inovasi ini selalu ditanya banyak orang, termasuk juga Pak Presiden. Saya selalu menjawab, periset itu jangan ditanya
hasil inovasi. Tapi tanya lisensinya. Tanya patennya. Kalau ditanya hasil inovasi, nanti dia hanya bikin acara launching saja.
Kalau acara launching saja itu gampang, tinggal buat pameran saja. Tapi apakah betul hasilnya jadi, dan masuk ke industri ?
Maka dari itu sekarang kita tidak terlalu gemar melakukan hal seperti itu. Sekarang lebih baik kita fokus ke lisensi, ke industrinya langsung, karena justru proses itu yang penting. Karena terlalu di kejar dengan launching-launching itu tadi, jadi
hasil risetnya kurang meyakinkan dan kita tidak ingin itu terjadi lagi. Dari pada bertanya kapan launching mendingan teman-teman media langsung datang ke lab-nya, tanya ke periset nya, lagi buat apa.
Berapa lisensi yang sudah dikeluarkan BRIN ?
Tahun 2022 itu ada 37 lisensi.
Apa saja data hasil riset yang sudah dikerjakan BRIN, seperti hasil riset mobil listrik ?
Kalau mobil listrik ini masih berlanjut. Tapi kalau kita bicara tentang riset, itu kita bicara tentang teknologi, bukan
pembuatanya. Contoh seperti mobil listrik ini yang kita kerjakan teknologi dari mobil listriknya, bukan pembuatanya, karena
mobil listrik itu harus manufaktur. Jadi periset itu enggak akan bisa membuat mobil listrik, enggak akan pernah bisa membuat baterai dan sebagainya, karena kita di sini meriset teknologi kuncinya, seperti lembaran katodanya, anoda yang baru dari bahan alam dan sebagainya.
Dari hasil SDA yang ada di Indonesia, potensi apa yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan masyarakat ?
Yang paling siap itu biodiversitas, untuk mengekplorasi dan mengekploitasi biodiversitas kita untuk dijadikan produk-
produk obat.
Untuk dapat meningkatkan pendapatan perkapita, yang menjadi salah satu tolak ukur negara maju, maka perlu menghasilkan nilai tambah ekonomi dari berbagai komoditas. Terkait hal ini, seberapa penting riset dapat menjadikan suatu negara itu maju ?
Sangat penting. Untuk bisa memberikan nilai tambah itu, tentu kita perlu riset. Itu pula sebabnya negara maju risetnya
kuat dan maju. Negara maju tidak mungkin tanpa riset yang kuat. Karena kalau tidak punya riset yang kuat, kita hanya bisa
jualan bahan mentah saja. Nilai tambahnya rendah dan tidak signifikan.
Dalam melakukan riset tentu memerlukan dana yang besar, begitu juga dengan infrastrukturnya ?
Benar riset itu perlu dana yang besar, tapi dana bukan segalanya. Tadi juga sudah saya ilustrasikan dan kita juga sudah
membuktikannya, setelah BRIN diintegrasikan kita itu jadi sangat efisien, karena dulu banyak dana yang terpakai untuk hal yang di luar riset, dan memang benar dana riset yang terbesar itu ada di infrastruktur, makanya kenapa dana BRIN yang dari APBN itu kita fokuskan untuk infrastruktur dulu, karena infrastruktur itu yang nantinya akan menjadi aset yang produktif.
Sedangkan untuk dana risetnya yang luar infrastruktur itu untuk kita belikan bahan, untuk bahan tersebut sebenarnya murah
sekali, yang mahal itu SDM unggulnya.
Bagaimana peran BRIN mendukung penemuan mahasiswa ?
Kami ada skema yang namanya grass root inovation atau inovasi akar rumput. Tapi sebenarnya enggak harus mahasiswa juga. Kalau ada yang klaim-klaim penemuan sebenarnya bisa difasilitasi juga melalui skema kami. Tujuannya untuk membantu lebih mematangkan konsep supaya bisa terbukti betul secara ilmiah. Karena temuan itu kan ada proses, enggak bisa langsung begitu saja klaim sendiri. Tapi kalau untuk mahasiswa sih biasanya lebih mudah ya karena mahasiswa biasanya ada pembimbingnya, dosen atau apalah. Jadi biasanya mereka sudah menjalani proses seperti itu.
BRIN selalu mendampingi kampus-kampus yang melakukan penelitian ?
Intinya kalau skema kami bukan mendampingi kampus karena itu kan tidak secara spesifik, tetapi skema yang ada di kami kan memang terbuka untuk semua. Beda dengan Dikti misalnya yang hanya untuk kampus. Kan mereka juga ada riset juga. Tapi
kalau kami terbuka untuk semua, artinya skema BRIN itu untuk mengurus riset seluruh Indonesia, siapapun itu, di manapun.
Jadi BRIN memfasilitasi semua penelitian?
Iya semuanya kita enggak peduli apakah dia mahasiswa atau dosen atau periset BRIN atau bahkan industri juga. Selama dia
memenuhi persyaratan.
Kenapa BRIN di daerah banyak yang ditutup ?
Bukan banyak yang ditutup lagi, tapi memang semuanya ditutup. Seperti yang tadi saya bilang, jangankan yang di daerah,
yang pusat saja ditutup. Sebenarnya bukan ditutup, tapi dibentuk organisasi baru, jadi unit yang lama sudah tidak relevan.
Maksudnya ?
Sekarang masalahnya unit yang baru di lokasi mana, terus lokasi yang lama mau diapain gitu kan maksudnya. Jadi misalnya pusatnya di Serpong, Cibinong, Bandung, Subang, Bogor. Tapi kalau pusat yang baru tidak memerlukan lokasi yang lama, ya lokasi yang lama ditutup. Kita enggak bertanggugjawab dong kalau lokasi yang lama tetap dibuka, karena itu menghabisin duit. Untuk aset lokasi tanah dan gedung itu milik Kementerian Keuangan, bukan punya kita jadi kita enggak bisa enaknya juga, Gedung BRIN ini juga punya Kementerian Keuangan, aset negara itu semua milik Kementerian Keuangan.
Jadi kalau kita sudah tidak memerlukan ya kita kembalikan, atau kalau kita punya alternatif lain seperti dimitrakan, seperti
disewakan itu enggak jadi masalah, tapi semuanya atas persetujuan Kementerian Keuangan.
Terkait kinerja, Komisi VII DPR merekomendasikan Pemerintah untuk mengganti Bapak sebagai Kepala BRIN.
Selain itu, Komisi VII juga merekomendasikan agar BPK melakukan audit khusus pagu anggaran BRIN tahun 2022. Komentar Bapak ?
Kalau dicopot, kan namanya juga usulan, ya monggo, itu kan namanya, itu kan ranah dan keputusan, apa ya..., ranah politik dari anggota ya. Ya boleh-boleh saja, ya nggak apa-apa gitu ya. Tapi kan, ya, kalau saya kan saya ikut saja, kan tergantung Pak Presiden, toh. Kan saya diangkat dengan keppres, ya diberhentikan dengan keppres.
Bagaimana dengan hasil pemeriksaan BPK ?
BPK telah selesai melakukan proses PDTT pada akhir 2022 sebagai bagian dari proses likuidasi DIPA pada lima eks entitas
lama (Kemristek, BATAN, BPPT, LAPAN, dan LIPI). Sampai 8 Februari 2023 BRIN belum menerima LHP BPK.
Sebagai bagian dari proses sebelum penerbitan LHP, pada pertengahan Januari 2023 lalu, BRIN telah melaksanakan tahap
respon untuk mengklarifikasi KHP. Dengan demikian, secara resmi belum ada temuan dari BPK terhadap BRIN. Sesuai ketentuan, seharusnya KHP belum dapat menjadi dokumen publik karena masih membutuhkan klarifikasi dari kedua pihak.
Komisi VII DPR mempertanyakan anggaran BRIN untuk program masyarakat pada tahun 2022 senilai Rp 800 miliar namun yang terealisasi hanya Rp 100 miliar. Bisa dijelaskan ?
Sejak awal pembahasan anggaran BRIN TA 2023, sesuai kewenangan sebagai legislatif Komisi VII sebagai mitra BRIN di
DPR mengusulkan tujuh program untuk masyarakat dengan nilai sebesar Rp. 800,8 miliar berbasis pada program-program reguler yang telah ada di BRIN, yaitu delapan skema program mobilitas periset, sembilan skema program pendanaan riset dan inovasi, serta tiga skema program pemanfaatan riset dan inovasi (Fasilitasi Usaha Mikro berbasis Iptek, Inovasi Akar Rumput, Produk Inovasi untuk Masyarakat). Sesuai dengan regulasi yang berlaku, hasil RDP disampaikan oleh Komisi ke Pimpinan DPR, dan dibahas di Banggar DPR bersama Menteri Keuangan sebagai wakil Pemerintah. Hasil keputusan ini
yang ditetapkan menjadi UU 28/2022 tentang APBN TA 2023. Seperti halnya K/L lain, BRIN wajib menjalankan undang-
undang ini dalam mengeksekusi DIPA.
Perlu ditekankan bahwa di dalam undang-undang di atas tidak ada persetujuan DPR dan Pemerintah atas alokasi Rp. 800,8 miliar. Sehingga akan sangat menyesatkan publik apabila diinformasikan seolah-olah anggaran tersebut telah teralokasi di dalam APBN BRIN, baik pada TA 2022 maupun pada TA 2023. Sesuai postur anggaran BRIN yang hanya memiliki alokasi RM untuk program sebesar Rp. 921 miliar pasca automatic adjustment, secara teknis tidak mungkin dapat dialokasikan usulan Rp. 800,8 miliar. Pengalokasian sebesar Rp. 800,8 miliar tentu akan berakibat penghentian sebagian besar aktivitas operasional BRIN pada titik paling minimal sekalipun. Berbeda halnya bila BRIN mendapatkan
pagu tambahan dalam bentuk RM yang memadai di dalam APBN BRIN TA 2023.
Bisa dijelaskan mengenai Program MBBM (Masyarakat Bertanya BRIN Menjawab) ?
Program MBBM merupakan program reguler untuk melakukan diseminasi Iptek dan pendampingan ke kelompok masyarakat
yang membutuhkan. Program ini dilaksanakan berbasis pada surat permintaan dari kelompok masyarakat terkait, dan dieksekusi oleh Tim dari Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN secara at-cost. Artinya, BRIN hanya dapat mengeluarkan anggaran sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan riil di lapangan, dengan satuan biaya mengikuti SBM (Standar Biaya Masukan) yang ditetapkan di PMK 83/2022 tentang SBM TA 2023. Sebagai contoh pemberian biaya transportasi peserta Rp. 150 ribu / orang, honor nara sumber Rp. 1,7 jt / jam dan seterusnya. Sehingga sangat menyesatkan bila diinformasikan BRIN memberikan anggaran pelaksanaan dalam bentuk glondongan per-kegiatan sesuai nilai yang diusulkan.
Serupa dengan penjelasan pada postur anggaran BRIN TA 2023, di dalam APBN BRIN TA 2022 tidak terdapat alokasi sebesar Rp.800,8 miliar untuk tujuh program. Nilai Rp. 800,8 miliar untuk tujuh program merupakan usulan dan belum menjadi alokasi di APBN BRIN TA 2022. Tetapi BRIN tetap melaksanakan program untuk masyarakat memanfaatkan program reguler MBBM dengan alokasi yang ada secara at-cost. Sehingga sangat disayangkan apabila dipersepsikan telah terjadi sisa alokasi dari Rp. 800,8 miliar yang tidak dilaksanakan oleh BRIN, dan kemudian dipertanyakan penggunaannya.
Pusing tidak menjadi Kepala BRIN, melihat berbagai isu yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan masyarakat dan
DPR terkait BRIN ?
Biasa saja.